Penulis: Ade Surya Tawalapi
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini adalah sambungan dari artikel berjudul “Mengobservasi Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau – Bag. #01”
SETELAH BERDISKUSI BERSAMA Ama dan Tek Erih, kami berempat kembali ke Markas Gubuak Kopi. Saya dan Nahal masing-masing sudah menggaris bawahi beberapa poin penting dalam kepala kami, yang kemudian akan kami persentasikan di malam harinya, di hadapan pendekarwati lainnya dan para fasilitator. Hasil persentasi yang saya lakukan mengarahkan saya pada riset lebih lanjut tentang beberapa poin. Yakni, isu berarak dalam konteks terdahulu dan masa kini; bagaimana perkembangan zaman bisa menggeser kebiasaan dalam tradisi bararak? Selain itu, menurut Delva, penting juga untuk melihat situasi sosial di setiap alek, sebab hal tersebut bisa merepresentasikan situasi dan kondisi suatu masyarakat serta kemungkinan besar juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan zaman. Situasi sosial yang mulai berubah ini juga bisa terlihat dalam tradisi bararak.
Tradisi Bararak, Istilah Khusus dan Situasi Sosial di Setiap Alek
Bararak merupakan rangkaian terakhir dari acara pernikahan, aqiqah, khatam alquran, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Fungsinya adalah sebagai media pengumuman pada masyarakat luas. Misalnya, pada acara pernikahan, bararak menjadi indikasi bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi sepasang suami istri (Iriani, 2012: 16). Umumnya, fungsi bararak di setiap daerah adalah sama, yakni sebagai media pengumuman. Namun, praktiknya berbeda-beda di setiap nagari.
Kata bararak memiliki makna yang sama dengan kata ‘berarak’ dalam Bahasa Indonesia. Akar katanya adalah ‘arak’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘berarak’ didefinisikan sebagai ‘berjalan bersama-sama secara beriring.’[1] Kata ‘arak’ dapat pula diartikan sebagai iringan barisan mengiring sesuatu, seperti tamu agung atau pengantin, sebagaimana yang sudah didefinisikan oleh Abdul Kadir Usman (lihat Adrizal, 2017). Dengan demikian, bararak, dalam tradisi Minangkabau merupakan aktivitas mengiringi pengantin yang dilakukan masyarakat Minangkabau sesuai dengan adat-istiadat dan budaya masing-masing nagari.
Untuk memahami tradisi bararak ini, saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai orang tua Volta di hari kelima observasi, tanggal 5 Juni 2018, dan beberapa ibu-ibu di Nagari Kinari pada tanggal 6 Juni 2018. Wawancara itu dilakukan setelah acara berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah, Sawah Sundi, Nagari Kinari. Pada hari kelima itu, Saya, Nahal, Volta dan Irvan (mahasiswa yang sedang mengikuti program magang Gubuak Kopi) berangkat ke kampung halaman Volta di Sawah Baruah, Jorong Pamujan, Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, seusai acara diskusi di markas Gubuak Kopi. Di rumahnya, ibu Volta sudah menunggu kedatangan kami karena sebelumnya Volta sudah memberi tahu orang tuanya soal rencana kunjungan kami. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, kami langsung mewawancari ibu Volta, yang juga kami panggil Ama.[2]
Ama menjelaskan bahwa di Nagari Kinari, tradisi bararak dikenal pula dengan istilah pai bajamu (‘pergi menjamu’). Biasanya, bararak ini ditemukan dalam alek, pai mambadak (dalam Bahasa lokal Solok, lebih dikenal dengan istilah “turun mandi”) dan batagak panghulu (‘pengangkatan penghulu’). Dari yang saya tangkap, bararak dalam alek Nagari Kinari adalah aktivitas arak-arakan dari rumah perempuan ke rumah laki-laki. Hal ini sedikit berbeda dari nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Beberapa pembandingnya adalah bararak di Nagari Tembok, Koto Baru, dan Padang. Ketiga nagari ini memiliki tradisi arak-arakan yang dilakukan dari rumah Induak Bako ke rumah orangtua Anak Daro (Elia, 2016: 138-155). Sementara, di Nagari Salayo, tradisi bararak-nya sama dengan Nagari Kinari, diarak dari rumah Anak Daro (‘mempelai perempuan’) ke rumah Marapulai (‘mempelai laki-laki’) (Iriani, 2012: 16).
Banyaknya iringan bararak di Nagari Kinari tidak ditentukan dari bantai-membantai hewan ternak, berbeda dengan Nagari Koto Baru (sudah dijelaskan sebelumnya). Di Nagari Kinari, semakin banyak orang yang ikut berarak, semakin bagus arakannya. Sementara itu, bawaan para kaum ibu dalam bararak alek di Nagari Kinari umumnya terdiri dari kain, samba (‘lauk pauk’, seperti rendang, goreng ayam, sambal telur, dll.), kue, dan perkakas rumah tangga, seperti piring, kompor, gelas, dan lain sebagainya. Kaum ibu yang menjunjung makanan dan bawaan terdiri dari keluarga dan para tetangga, yang dipimpin oleh seorang ibu yang dituakan, yang disebut Urang Tuo Korong. Banyaknya rombongan arakan dan beragamnya bawaan kaum ibu saat bararak menunjukkan bagaimana pribadi Sipangka dalam hubungan sosialnya.
Apa (ayahnya Volta)[3] juga menjelaskan bagaimana susunan rombongan bararak. Di Nagari Kinari, Anak Daro didampingi oleh Urang Tuo Korong dan kaum ibu pembawa baban.[4] Di belakangnya, Marapulai diiringi oleh pemain alat musik talempong. Semakin ramai yang mengiringi dan bermain musik, semakin meriahlah arak-arakan tersebut.
Bararak juga bisa merepresentasikan status sosial seseorang. Informasi terakhir yang saya dapatkan cukup menjelaskan, meskipun tradisi dan adat istiadat di Nagari Kinari masih cukup kuat, perkembangan zaman tetap berhasil masuk.
Dalam tradisi pai mambadak, bararak dilakukan dari rumah Sipangka ke Batang Aia (‘anak sungai’). Tradisi pai mambadak merupakan tradisi memandikan anak bayi yang baru berusia satu bulan. Tradisi memandikan ini dilakukan oleh keluarga Induak Bako, turun dari rumah Sipangka diiringi Dukun Kampuang (‘dukun kampung’), anggota keluarga, dan para tetangga. Bayi digendong oleh Induak Bako, dimandikan oleh Dukun Kampuang di anak sungai. Setelah dimandikan, anak dibalut handuk, lalu diserahkan kembali ke Induak Bako untuk diarak kembali ke rumah. Sebelum memasuki rumah, ada tradisi berbalas pantun yang dilakukan oleh Dukun Kampuang dan Janang.[5] Setelah itu, barulah Induak Bako membawa si Anak masuk ke dalam rumah, dipakaikan pakaiannya oleh Dukun Kampuang, dan diberi bedak. Karena itulah, tradisi memandikan anak ini dikenal juga dengan istilah pai membadak (‘pergi membedak’, atau ‘pergi membalurkan bedak di sekujur tubuh anak bayi agar wangi’).
Saat observasi kedua ini, saya belum mendapatkan informasi terperinci mengenai bararak dalam tradisi baralek maupun pai mambadak. Namun, sekilas saya menangkap bahwa dalam tradisi pai mambadak tersebut, tidak ada yang dibawa oleh rombongan. Fungsi arak-arakan, selain sebagai media pengumuman atas kelahiran anak, ialah untuk meramaikan acara dan membahagiakan keluarga Sipangka. Lagi-lagi, Ama dan Apa (yang saat itu baru pulang dari bekerja) menekankan, bahwa banyaknya rombongan bararak ini ditentukan oleh sikap dan hubungan keluarga Sipangka dalam badunsanak batatanggo (‘bersaudara dan bertetangga’).
Pada kesempatan mewawancarai beberapa ibu seusai buka bersama di Masjid Nurul Hidayah keesokan harinya, saya mendapat informasi tambahan bahwasanya istilah bakureh bagi masyarakat lokal Nagari Kinari bersifat kasar. Orang lebih menggunakan kalimat “pai manolong mamasak” (‘pergi menolong untuk memasak’) jika ada kegiatan memasak untul alek. Sementara, untuk mengupah orang pun, orang enggan menggunakan kata bakureh, sebab bagi masyarakat setempat, bakureh berarti bekerja dengan tujuan mendapat keuntungan atau “maambiak barang urang” (‘mengambil barang orang’).
Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa bararak umumnya dilakukan oleh kaum menengah ke atas. Sebab, umumnya bararak disertai dengan membantai kambing, sapi, atau kerbau. Bararak juga sering diiringi permainan musik dan tari piring.
Dari observasi dua hari tersebut, saya menarik kesimpulan sementara bahwa tradisi bararak cukup beragam, tergantung nagarinya. Selain itu, bararak juga bisa merepresentasikan status sosial seseorang. Informasi terakhir yang saya dapatkan cukup menjelaskan, meskipun tradisi dan adat istiadat di Nagari Kinari masih cukup kuat, perkembangan zaman tetap berhasil masuk. Salah satu buktinya adalah sudah adanya orgen tunggal, serta pemanfaatan media musik sejenis MP3 untuk mendengarkan lagu; menurut pendapat saya, kehadiran teknologi pemutar musik tersebut telah menggantikan posisi bapantun dan badendang (‘berdendang’). Namun demikian, tetap diperlukan riset lanjutan mengenai tradisi-tradisi tersebut. Saya rasa, juga perlu diadakan pengamatan terhadap tradisi di kenagarian lain, khususnya di Solok, sebagai usaha membaca lebih mendalam tradisi bakureh dan bararak. Ini penting untuk memahami kondisi sosial masyarakat Solok yang mungkin saja bisa terepresentasikan dari keadaan masing-masing kenagarian.
Bersambung… (Mengobservasi Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau – Bag. #03 (Habis))
End Notes
[1] Lihat Aplikasi KBBI V. Diakses pada 7 Juni 2018, 18.57 WIB.
[2] Kata ‘Ama’, juga sering diucapkan ‘Amak’, berarti ‘Ibu’ dalam bahasa Indonesia.
[3] ‘Apa’, atau juga biasa diucapkan ‘Apak’, berarti ‘Bapak’ dalam bahasa Indonesia.
[4] ‘Baban’ adalah istilah lokal untuk menyebut junjungan berisi makanan dan lain sebagainya, yang dibawa kaum ibu di atas kepalanya saat bararak.
[5] ‘Janang’ di sini merujuk pada pengatur acara tradisi mambadak.
Bibliografi
Iriani, Z. (2012). Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. Humanus: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Humaniora, XI (1), 12-17.
Adrizal. (2017). Deskripsi Tradisi Bararak pada Upacara Perkawinan di Kenagarian Sungai Nanam Kabupaten Solok. Skripsi, Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Padang.
Elia, S. (2016). Pemaknaan Prosesi ‘Baralek’ Nagari Padang. Skripsi, Universitas Multimedia Nusantara, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Tangerang.
2 thoughts on “Mengobservasi Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau – Bag. #02”