Penulis: Devita Lailia N
Penyunting: Ade Surya Tawalapi
PAGI INI MATAHARI bersinar terang di Desa Rasberi. Langit terbentang biru dengan awan-awan menggumpal seperti kapas. Tampak sangat lembut jika dipegang.
Di pagi yang cerah ini, Lili tampak asyik berkebun di halaman belakang rumah bersama neneknya. Karena terlalu asyiknya, mereka sampai tidak menyadari kalau mereka sudah menanam banyak sekali hari ini. Saat Lili pergi menghampiri neneknya, ia melihat neneknya masih akan menanam sesuatu.
“Nenek sedang menanam apa?” tanya Lili. Neneknya lalu bercerita bahwa kemarin ia mendapat benih bunga matahari dari Kepala Desa.
“Jadi, Nenek masih ingin menanam lagi?” tanya Lili lagi.
“Iya, Sayang. Lili mau bantu Nenek?”
“Tentu saja.”
Nenek dan Lili pun membuat lubang untuk menaruh beberapa benih bunga matahari. Lalu, Lili mendapat tugas dari neneknya untuk menyiram dan merawat benih yang telah ditanam. Dengan hati gembira, Lili langsung mulai menyiram semua benih-benih itu.
Hari berganti dengan semestinya. Benih bunga matahari yang ditanam Lili dan neneknya pun mulai tumbuh. Lili menyiram dan merawatnya dengan rajin. Tak lupa ia memberikan pupuk secara teratur. Lambat laun, kuncup daun bunga matahari itu muncul ke permukaan tanah disusul batang yang masih mungil. Lili senang memperhatikan pertumbuhan benih bunga mataharinya menjadi bibit. Lili yakin, kelak bibit itu akan tumbuh menjadi bunga matahari yang sangat cantik. Selama ia terus menyiram dan memberinya pupuk.
Namun, ada bagian yang tidak pernah diketahui Lili, yaitu akar bunga matahari, yang juga sedang tumbuh. Lili tidak bisa melihat ke dalam tanah sehingga ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana.
Sang Akar sangat bangga kepada dirinya. Ia sangat percara diri dapat tumbuh menjadi bunga matahari yang indah. Ia berkata kepada penduduk tanah bahwa ia akan tumbuh besar. Batangnya yang kokoh akan tumbuh keluar dari tanah yang gelap, lembab, dan kotor ini. Lalu kuncup-kuncup bunganya akan bermekaran dan menjadi primadona para lebah.
“Hei, kau, Cacing! Lihatlah! Aku adalah akar paling sehat di sini. Aku akan terus berkembang menjadi batang. Kuncup-kuncup bungaku akan segera tumbuh dan mekar. Warna dan wangi bungaku akan membuat orang-orang terpana melihatku. Semua mata akan tertuju padaku seorang,” kata sang Akar.
“Kau tidak akan seperti itu jika Lili tidak menyiramimu dengan air dan pupuk, Akar. Kau mungkin akan mati dan menjadi bangkai di sini. Lalu hewan tanah lainnya akan memakanmu,” sahut Cacing.
“Beraninya kau mengatai aku seperti itu! Kau akan menyesal, Cacing! Kau akan menelan ludahmu sendiri. Aku adalah akar yang kuat!” jawab Akar, mengebu-gebu.
Semakin hari sang Akar tumbuh rimbun dan berpegang teguh pada tanah. Sementara itu, dari atas tanah Lili dapat melihat batang kecil itu tumbuh semakin besar. Bibit bunga matahari itu tampak anggun dan tenang. Namun, hal yang berbeda terjadi di dalam tanah. Keadaan di dalam tanah sudah semakin tidak karuan. Cacing sungguh tidak menyukai akar yang suka membanggakan diri itu. Semakin hari, sang Akar semakin memuji dirinya sendiri, menganggap bahwa dirinya mampu menumbuhkan bunga yang cantik tanpa bantuan siapa pun.
“Sudahlah, Cacing! Kau tidak perlu banyak cakap lagi. Kau akan melihat sendiri nanti jika aku sudah tumbuh menjadi bunga matahari,” kata sang Akar, lagi dan lagi. Membuat sang Cacing gerah dan kesal. Ia pun menyahut tak kalah tajam.
“Hei, Akar! Ingatlah satu hal bahwa di dunia yang sementara ini kau tidak bisa hidup sendiri. Semua makhluk hidup saling bahu-membahu dalam mencukupi kebutuhan masing-masing. Kita semua bergotong-royong demi menghasilkan atau membersihkan sesuatu.”
“Hah! Aku tak percaya dengan perkataanmu,” jawab sang Akar, keras kepala.
“Terserah kau saja. Jangan kau menangis dan memanggilku nanti, jika suatu saat kau mati karena Lili sudah tak mau menyirammu lagi dan Matahari tak mau memberikan sinarnya kepadamu. Sebab, aku juga akan pergi dari sini,” kata Cacing.
“Mengapa aku harus membutuhkan Matahari? Aku adalah bunga ‘matahari’. Aku akan bersinar untuk diriku sendiri. Aku mampu menumbuhkan diri sendiri tanpa bantuan siapa pun. Jadi, aku tak butuh bola besar yang kau sebut ‘matahari’ itu.”
Cacing sudah tak tahan melihat kelakuan sang Akar yang semakin menjadi-jadi itu. Ia pun akhirnya pergi meninggalkan sang Akar dan mencari tanah yang baru untuk ditinggali. Sementara itu, sang Akar tetap merasa bahwa dia bisa melakukan semuanya sendiri.
Sampai suatu hari, Lili pergi berkemah dengan teman-temannya. Lili tidak bisa menyiram bunga mataharinya seperti biasa. Lili terpaksa meninggalkan bunga matahari itu, berhari-hari lamanya, padahal kuncup bunganya sudah mulai bermunculan.
Di saat itulah sang Akar menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan orang lain, termasuk Lili.
“Aduh, kenapa aku merasa haus sekali, ya?” tanya sang Akar kepada dirinya sendiri. “Hei, kau, Batang! Cepat beri aku air,” perintah sang Akar kepada Batang.
“Maaf, Akar. Aku juga kehabisan air. Hari ini Lili tidak menyiram kita. Sementara hujan juga tak kunjung turun,” jawab Batang.
Akar semakin tak tahan. Ia tak bisa lagi mencengkeram tanah sekuat sebelumnya. Ia semakin lemah dan tidak berdaya. Tampak dari atas, kuncup bunga matahari itu semakin layu, sementara batangnya mulai mengering. Sang Akar juga mengerut, tidak segar seperti biasanya.
Sang Akar pun teringat perkataan Cacing. Ia akhirnya sadar bahwa selama ini ia telah berbuat salah. Seharusnya, ia tidak bicara sekasar itu pada Cacing dan tidak bersikap sombong. Sang Akar pun menyesal. Namun, penyelasannya datang begitu terlambat.
“Lili, maaf .. kan … aku …,” kata sang Akar, terbata-bata. Karena terlalu lemah, sang Akar kesulitan untuk berbicara. “Maafkan aku karena tak bisa memberimu bunga matahari yang indah. Maafkan aku, Matahari. Karena aku telah meragukan cahayamu, padahal cahayamu sangat berguna agar aku bisa berfotosintesis. Maafkan aku, Air. Sebab, aku sudah merasa tidak membutuhkanmu, padahal tumbuhan sepertiku sangat membutuhkan air untuk tumbuh. Dan … Cacing …. Maafkan aku karena telah membuatmu sakit hati atas sikap dan kata-kataku sehingga kau terpaksa pergi meninggalkan rumahmu. Seharusnya aku tidak seperti itu. Aku juga sadar, bahwa para cacing juga dapat menyuburkan tanah tempat aku tumbuh,” kata sang Akar, merintih sedih.
Sang Akar pun akhirnya mati. Namun, ia sudah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Kelak, ketika ia kembali tumbuh menjadi akar tanaman lain, ia tidak akan menjadi akar yang sombong lagi. Ia akan mengingat kata-kata Cacing, bahwa sebagai tanaman ia membutuhkan Matahari, Air, Cacing dan juga makhluk lainnya.

Beberapa hari kemudian, Lili dan neneknya kembali berkebun dan menanam. Kali ini, Lili menyetek batang tumbuhan melati yang baru saja dipangkasnya. Batang-batang itu ditancapkannya ke dalam tanah. Tak lama setelah itu, sang Akar tumbuh kembali pada bibit bunga Melati. Namun, kali ini sang Akar selalu mengingat pesan Cacing agar tidak menyombongkan diri. Maka, pada akhirnya, ia dapat tumbuh dengan sempurna dan memberi Lili bunga Melati yang cantik dan wangi semerbak.***