Tradisi Sampang Sandro dan Kisah Rawa Meno

Penulis: Afifah Farida (Sayurankita), Hamdani dan Alya Maolani (dua anggota Yayasan Pasirputih)
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini sudah pernah dimuat di www.berajahaksara.org dengan judul “AksaraTani; Ritual Sampang Sandro Sebuah Penghormatan Rawa Meno“. Dimuat kembali di Sayurankita.com dengan suntingan baru dan atas izin Yayasan Sayurankita.

 

Salah satu keunggulan Gili Meno dari dua Gili lainnya adalah kita dapat menemukan rawa di tengah pulau. Rawa ini dikelilingi oleh hutan bakau dan terpisah dari laut. Menurut masyarakat Gili Meno, kadar asin air rawa ini melebihi rasa asin air laut. Oleh karena itu, orang dulu memanfaatkan danau ini untuk memproduksi garam. Tidak ada yang tahu pasti, sejak kapan danau ini dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Menurut Daeng Sik, salah satu tetua di Gili Meno, tradisi menyia (‘menggaram’) sudah ada sejak ia masih kecil, sekitar tahun 1970-an. Saat itu, Daeng Sik masih tinggal di Gili Air. Daeng Sik mengatakan bahwa dulu produksi garam di Gili Meno sangat melimpah dan kualitas garamnya putih bersih.

Saat ini, meskipun masyarakat yang memproduksi garam tidak banyak, namun tradisi dan kepercayaan masyarakat pada rawa ini masih sangat kental. Masyarakat masih menghormati rawa sebagai sumber daya alam yang harus dijaga dengan tradisi Sampang Sandro dan Bangarian.

Menurut penuturan Papuk Yol, salah satu pemangku adat di Gili Meno, Sampang Sandro adalah sebuah ritual yang dilakukan untuk meminta izin kepada makhluk-makhluk yang tinggal di rawa. Papuk Yol bercerita bahwa ritual Sampang Sandro ini pernah berhenti karena tidak ada penerus dari pemangku sebelumnya sampai Haji Amid bermimpi. Haji Amid adalah keluarga dari Papuk Yol. Haji Amid bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpesan agar Sampang Sandro dibangkitkan lagi dan menunjuk Papuk Yol sebagai sebagai pemangku. Papuk Yol mengaku, dulu saat ritual Sampang Sandro dilakukan, hanya Papuk Yol-lah yang melihat ikan besar di rawa, yang menurutnya sebagai penjaga rawa. “Mungkin itu salah satu petunjuknya. Saya juga tidak tahu mengapa saya yang dipilih untuk menjadi pemangku,” aku Papuk Yol.

Papuk Yol sedang mengamati Rawa Meno. (Foto: arsip Aksara Tani).

Sampang Sandro mulai digiatkan lagi beberapa tahun belakangan. Tahun ini, tradisi Sampang Sandro diadakan meriah, Bupati juga datang untuk menyaksikan tradisi yang pernah hilang ini. Menurut Papuk Yol, tradisi Sampang Sandro ini adalah tradisi Bugis, karena sebagian besar masyarakat Gili adalah keturunan Bugis. Kalau dalam tradisi Sasak, dikenal dengan Bangarian. Tujuannya sama, yaitu meminta izin ke makhluk selain manusia agar apa yang dikerjakan memberikan hasil yang baik. Masyarakat tidak berani membuat garam sebelum dilakukan ritual tersebut. Ritual Sampang Sandro dilakukan pada saat memasuki musim kering (kemarau), sekitar bulan Juni dan Juli, karena masyarakat dapat membuat garam (menyia) hanya pada musim kering.

Papuk Yol bercerita bahwa ada beberapa rangkaian kegiatan dalam ritual Sampang Sandro, seperti menyiapkan eteh-eteh (Sesajian, seperti bubur putih, bubur merah, ayam, telur, uang, pisang, dan rokok), mengambil lumpur dari rawa untuk membuat bak penggaraman, lalu mengisinya dengan air rawa. Setelah rangkaian tersebut dilaksanakan, barulah masyarakat membuat garam. Saat ini, hanya tinggal beberapa orang yang membuat garam, produksinya hanya untuk di Gili Meno. Ketika kami bertanya ke Bu Sudi, salah satu warga Gili Meno, ternyata tradisi menyia semakin berkurang karena adanya pariwisata. Uang yang diperoleh dari pariwisata lebih cepat dan lebih banyak daripada harus menyia (membuat garam). “Menyia itu capek, uangnya juga sedikit,” kata Bu Sudi.

Selain tradisi Sampang Sandro atau Bangarian yang dilakukan di rawa sebelum membuat garam, air rawa juga dipercaya oleh masyarakat Gili meno sebagai obat, khususnya untuk mengobati penyakit kulit seperti korengan atau luka. “Garam yang dilarutkan dalam air juga bisa menjadi obat,” kata istri Daeng Sik yang memiliki pengalaman menggunakan larutan garam yang diproduksi dari rawa.

“Kita bisa mandi di rawa, tetapi harus hati-hati, karena ada pusaran air di rawa. Pusaran air rawa ini berbeda dengan pusaran air laut. Kalau di laut, airnya deras ke selatan, maka air tersebut akan ke selatan. Tapi, pusaran di rawa ini ke bawah. Sampai saat ini, ujung rawa ini masih belum ditemukan,” Papuk Yol menjelaskan mengapa di rawa orang dilarang berenang. Pernyataan Papuk Yol diperkuat dengan pernyataan Daeng Sik yang berkata, “Kedalaman rawa itu dulu pernah diukur oleh paman saya. Tapi setelah ribuan hasta, belum ditemukan dasarnya.”

Kepercayaan masyarakat lainnya adalah rawa ini masih memiliki satu jalur dengan Danau Segara Anak Rinjani, dan rawa ini ditunggui oleh buaya atau ikan putih (sebagian masyarakat percaya buaya, dan sebagian lagi percaya ikan; sedangkan Papuk Yol sendiri mengaku tidak pernah melihat buaya, tetapi ikan putih). Papuk Yol mengatakan bahwa dulu, Tuan Haji Amid (saudaranya) mempunyai lepalepa (‘perahu’) yang ditenggelamkan oleh pusaran air rawa dan sudah berpuluh-puluh tahun tidak ditemukan. Ada yang percaya bahwa lepalepa itu masih berada di dalam rawa dan masih terapung. Berdasarkan cerita masyarakat yang beredar, dulu ada peneliti dari Australia yang mencoba mencari dasar rawa, tetapi peneliti tersebut ditemukan sudah mengambang di Danau Segara Anak Rinjani.

Anjungan rawa yang dibuat oleh warga sebagai salah satu titik dilaksanakannya Ritual Sampang Sandro sekaligus menjadi tempat bagi para wisatawan menikmati suguhan alam Rawa Meno. (Foto: arsip Aksara Tani).

Hal menarik lainnya dari rawa ini adalah ditemukannya ikan-ikan air tawar, salah satunya jenis ikan mujair. Asal-muasal keberadaan ikan ini ada dua versi. Versi pertama adalah ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan yang berasal dari Danau Segara Anak Rinjani yang dulu pernah dilepas oleh Soeharto; sedang menurut versi kedua, konon ada orang yang melepaskan ikan-ikan tersebut ke rawa ketika musim hujan, saat air rawa meluap sampai ke daratan. Keajaiban ini masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat Gili Meno, karena ketika ikan laut dilepaskan ke rawa, maka dalam hitungan menit ikan-ikan laut itu akan mati. Kepercayaan lain yang masih beredar di masyarakat Gili Meno adalah, ketika kita melihat rawa, jika rawa itu terlihat luas dari ujung ke ujung umur, maka kita akan berumur panjang, dan berlaku sebaliknya.

Papuk Yol mengingatkan bahwa ada pantangan yang tidak boleh dilakukan di rawa, yaitu buang air kecil di rawa. Menurut Papuk Yol, hal itu akan membuat makhluk-makhluk yang ada di rawa marah karena kita dianggap tidak menghargai mereka. Selain itu, juga karena rawa masih digunakan sebagai obat dan membuat garam.

Bahan bangunan anjungan yang akan dibuat menuju tengah rawa, dan terlihat salah satu bangunan (berugaq/lesehan) yang berada di dekat rawa. (Foto: arsip Aksara Tani).

Saat ini, melihat keindahan rawa yang masih terjaga keasriannya, Pemerintah Daerah dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sedang berusaha membenahi rawa untuk menambah daya tarik wisatawan, salah satunya dengan mengangkat ritual sakral Sampang Sandro. Selain itu, sekarang sudah ada jembatan apung yang membelah rawa dari ujung ke ujung. Namun disayangkan, pembuatan jembatan di rawa tersebut tidak diiringi dengan sosialisasi ke masyarakat sehingga saat kami bertanya ke beberapa warga, banyak warga yang mengaku tidak mengetahui siapa pembuat dan apa tujuan dari pembuatan jembatan itu. Akan tetapi, menurut Wak Dais, salah satu kapten kapal di Gili Meno, dengan adanya jembatan itu, warga dapat memancing hingga ke tengah danau. Meskipun kehadiran ikan-ikan tersebut masih menjadi tanda tanya, tetapi ikan-ikan tersebut dapat dimakan dan rasanya enak.

Melihat fenomena ini, Papuk Yol teringat pesan kakeknya, Papuk Ongang, yang meramal Tiga Gili. Papuk Ongang berkata, “Tiga Gili ini akan berhenti menanam tumbuh-tumbuhan dan mulai menanam rumah dan bangunan. Saat itu, akan terlihat banyak orang yang berjalan hanya menggunakan celana dalam. Kalian akan sangat mudah mendapatkan uang, tapi tanpa sadar sebenarnya kalian sedang dijajah.” Pesan Papuk Ongang yang disampaikan oleh Papuk Yol tersebut mengakhiri percakapan kami malam itu. ***

One thought on “Tradisi Sampang Sandro dan Kisah Rawa Meno

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s