Penulis: Ahmad Ijtihad (anggota Yayasan Pasirputih)
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini sudah pernah dimuat di http://www.berajahaksara.org, dengan judul “Bukit Sunggaling; Potret Petani Lahan Kering #1“. Dimuat kembali di Sayurankita dengan beberapa perbaikan atas izin Yayasan Pasirputih.
Penelusuran sejarah dan perkembangan Bumi Gora yang dilakukan oleh tim AksaraPangan berlanjut. Setelah mengunjungi beberapa Instansi terkait, seperti Badan Ketahanan Pangan NTB, Dinas Pertanian, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah NTB, HUMAS & Protokol Prov. NTB, dan beberapa tokoh serta organisasi kemahasiswaan terkait pangan dan pertanian, tim AksaraPangan berencana untuk mengunjungi wilayah terapan sistem gogo rancah pada tahun 1980 di Lombok Selatan. Wilayah bagian selatan Lombok ini merupakan tempat yang dikunjungi Presiden Soeharto ketika panen raya padi gogo rancah tahun 1981-1982.
Suatu sore, kami mengunjungi seorang kawan yang tengah melakukan residensi di Sasak Ende, Pujut, Lombok Tengah, mengikuti sebuah program yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu program Seniman Mengajar. Kawan kami itu bernama Ismal Muntaha. Ia adalah perupa yang berasal dari Jatiwangi dan tergabung dalam komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF). Ismal memberikan rekomendasi kepada tim AksaraPangan untuk bertemu dengan seorang warga yang berprofesi sebagai petani lahan kering dan masih menerapkan sistem gogo rancah untuk menggarap sawahnya. Kami pun berkesempatan untuk bertemu dan berbincang lama dengan Bpk. Srinata, seorang petani gora yang diceritakan ismal. (Cerita tentang Bpk. Srinata telah terbit sebelumnya dengan judul “Kisah Si Petani Gogo Rancah“).

Pak Srinate adalah salah satu warga Dusun Sunggaling, Desa Bangket Parak, Pujut, Lombok Tengah. Setelah perbincangan sore itu, kami tertarik untuk mengunjungi sawah yang diceritakan oleh Bpk. Srinata untuk melihat secara langsung potensi lahan kering dan persolan yang dihadapi oleh para petani di Dusun Sunggaling.
***
13 September 2017. Gemilang matahari menyengat dan aroma badan yang berpeluh semakin sengit saja. Persiapan untuk bersilaturahmi ke kediaman Bpk. Srinata kami ancangkan sejak beberapa hari lalu. Sore itu, saya (Ahmad Ijtihad) dan Ahmad Humaidi berangkat menuju Desa Bangket Parak dari kontrakan Muhammad Sibawaihi di BTN Gegutu Indah, Desa Kekeri, Lombok Barat. Alih-alih mengejar waktu, kami pun terperangkap gelap di Jln. Raya Tanak Awu (Jl. Bypass Bandara Internasioanl Lombok). “Sepertinya, kurang baik jika kita bersilaturahmi malam-malam begini, sebaiknya kita menginap saja di rumah Lamuh,” celetuk Ahmad Humaidi.
Malam itu kami pun memutuskan untuk beristirahat di rumah seorang kawan bernama Lamuh Syamsuar yang bermukim di Desa Ketara, Pujut, Lombok Tengah. Lamuh Syamsuar atau Lalu Muhammad Syamsul Arifin adalah seorang pegiat sastra yang aktif memproduksi sebuah buletin yang bernama Buletin Sastra Duntal. Buletin tersebut memuat kumpulan puisi, cerpen, dan esai kreatif yang merespon realitas sosial-budaya masyarakat ke dalam dunia kata dan kalimat-kalimat sastrawi.

Pagi pun tiba, bersama Lamuh kami berangkat ke Bangket Parak setelah menikmati secangkir kopi dan sarapan pagi dengan makanan cepat saji. Di perjalanan, kami sempat bertanya kepada beberapa warga di jalan karena kami sama sekali tidak tahu daerah Bangket Parak. Dari beberapa kali perhentian, kami pun sampai di Dusun Sunggaling, salah dataran tinggi (pebukitan Lombok Selatan) dengan keadaan alam yang kering dan krisis air. Sesampai di dusun tersebut, kami bertemu dengan Bapak Kepala Dusun Sunggaling yang bernama Amaq Ihat (Bapak Ihat).
Amaq Ihat adalah keturunan orang yang memiliki strata sosial yang disegani di Sunggaling, almarhum bapaknya adalah seorang subak (pengatur irigasi). Dalam pandangan masyarakat Sunggaling, pengaturan irigasi di lahan kering hanya dilakukan pasca-hujan turun dan hanya mengandalkan tadah hujan. Kinerja ayahanda Amaq Ihat dinilai bijak dalam mengatur air tersebut sehingga ia disegani oleh warganya. Awal kami menginjaki bukit Sunggaling, kami dijamu dengan sangat baik oleh keluarga Amaq Ihat.

Terik siang di Dusun Sunggaling terasa lebih panas dibanding waktu siang di daerah Lombok Utara, khususnya di Pemenang. Saya membuktikan penanda alam tentang musim saat berdiskusi dengan Awaludin, seorang mahasiswa magister yang meriset tentang rowot (kalender) sasak, dalam salah satu pembahasannya tentang penanda alam yang memengaruhi musim di suatu daerah/tempat. Suku sasak mempercayai bahwa terbelahnya buah kapas menandakan puncak dari musim kemarau.

Di bukit Sunggaling, tedapat banyak pohon kapas. Namun, warga saat ini tidak lagi membaca penanda alam tersebut, melainkan pohon kapas digunakan sebagai bahan bangunan untuk membangun hunian. Kedatangan kami di rumah Amaq Ihat pun saat itu di tengah aktivitasnya membangun hunian (berugak) bangunan yang dibuat untuk ruang tamu. Sebagain besar bahan yang digunakan berasal dari kayu pohon kapas yang ditebang di pekarangan rumah sendiri.
Dua jam kami menunggu Bpk. Srinata tapi ia belum juga pulang. “Bapak Srinata sedang memanen tembakau milik anaknya,” kata Amaq Ihat, di tengah ceritanya tentang keadaan lingkungan dan sosiokultural Dusun Sunggaling. Amaq Ihat bercerita tentang bagaimana warga Sunggaling selama ini berhadapan dengan keadaaan alam yang ekstrem.

Demografi yang berbeda jika dibandingkan dengan wilayah Lombok Barat dan Lombok Utara yang keadaan alamnya subur dengan ketersediaan air yang melimpah. Ketersediaan air bersih menjadi persoalan paling urgen di Dusun Sungaling. Pemerintah Daerah telah mengupayakan agar warga dapat memenuhi kebutuahan air bersih dengan membangun sebuah tower dan membuat sumur bor. Namun, karena debit air yang dibutuhkan oleh warga lebih banyak dari daya yang mampu dihasilkan oleh sumur bor, pemakaian mesin penyodot air tidak pernah dimatikan sehingga mesin penyedot air pun rusak (meledak) akibat temperatur yang tinggi. Kebutuhan air warga Dusun Sunggaling sejak sumur bor tidak lagi dimanfaatkan didapatkan dengan membeli air bersih seharga Rp. 75.000 per-600 L. Harga itu dipengaruhi oleh jasa pengangkut (Mobil Pick Up) dari warga setempat.

Pada hari itu, kami pun bertemu dengan Bpk. Srinata. Tepat di waktu sore menjelang senja, saat terik mulai terasa hangat, Pak Srinata mengajak kami ke sumur bor yang diceritakan kepala dusun tadi sembari menjelaskan kronologi pembangunan dan pemanfaatan sumur bor tersebut bagi warga Dusun Sunggaling.

Setelah itu, Pak Srinata mengajak kami ke sebuah kuburan umum, tepatnya di “Mur Gunung” (tepat di tengah-tengah puncak Bukit Sunggaling). Dari deretan kuburan tersebut, Pak Srinata menceritakan kepada kami tentang sebuah ritual minta hujan yang ditawasulkan (diprantarakan) dari sebuah kubur yang ia sebut sebagai Demung Sunggaling. Demung Sunggaling adalah sebuah kuburan Datu Tanak Awu. Konon, ketika Datu tersebut memiliki dua orang putra dan sedang kebingungan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pewaris kedatuannya, untuk menentukan pilihan tersebut, dibuatlah sayembara antara dua orang putra mahkota itu dengan sebuah perjanjian: bagi siapa pun yang memenangkan pertarungan akan menjadi Datu yang mengganti tahta ayahnya. Konon terjadi pertarungan hingga berhari-hari lamanya. Namun dalam pertarungan itu, kedua putra Datu Tanaq Awu tewas dan pada akhirnya tidak ada yang melanjutkan tahta kedatuan Datu Tanaq Awu.
Di area kuburan umum tersebut, terdapat dua kuburan putra mahkota Datu Tanaq Awu. Warga mempercayai bahwa kuburan Datu Tanaq Awu dan kedua anaknya itu memiliki daya supranatural yang dapat menghubungkan harapannya kepada Tuhan. Dari kepercayaan ini, muncullah sebuah ritual minta hujan yang dilakukan oleh warga Sunggaling saat musim kemarau berkepanjangan.
Ritual yang biasanya dilakukan oleh warga sempat dipraktikkan oleh Pak Srinate saat menceritakan pengalamannya mengikuti ritual tersebut. Katanya, mula-mula warga memutari kuburan sebanyak sembilan kali putaran sambil menyayikan sebuah lagu:
Mbok-mbok bai bengko
Ngrondang-rondangin
Mbe taok balen papuk balok ele
dan seterusnya…
Setelah itu, penghulu (Kiyai/tetua) akan membacakan mantra khusus hingga ritual selesai. Hal itu akan diulang-ulang hingga hujan turun. Namun Pak Srinata bercerita bahwa ritual tersebut tidak lagi dilakukan oleh warga sejak belasan tahun terakhir.

Setalah ke pemakaman, Pak Srinata pun mengajak kami ke sebuah sumur yang ada di tengah sawah dengan jarak sekitar 300-400 m dari pemukiman warga. Sumur tersebut dipergunakan oleh warga untuk mengairi sawah dan mandi.
Karena saat itu hari mulai gelap, kami beristirahat di sebuah mushollah yang dekat dari rumah Amaq Ihat. Musholla tersebut dipergunakan oleh warga hanya pada saat sholat tarawih di Bulan Ramadhan.

Awalnya, kunjungan kami ke Desa Bangket Parak dengan asumsi bahwa lahan kering sesungguhnya adalah persolan pelik. Sektor pertanian yang ada di Dusun Sunggaling adalah mata pencaharian utama warga. Sosio-kultural masyarakat sejatinya terbentuk dari realitas yang ada. Sehari di Dusun Sunggaling membuat kami penasaran dengan beberapa cerita menarik yang disampaikan oleh Amaq Ihat selepas perjumpaan pertama kami siang itu.***