“Dek!” seru Afifah seraya melempar sebuah buku tulis. Lalu ia melanjutkan kata-katanya tanpa peduli dengan wajahku yang kasam karena dilempar buku saat sedang asyik-asyiknya makan.
“Itu catatan tentang tanaman yang ada di kebun. Dan keterangan pupuk, panen, semai, dan lain-lain. Baca, ya!”
Aku masih mengerutkan dahi saat ia berlalu begitu saja kembali ke ruang kerjanya. Seakan terhenti, responku terhadap tingkahnya itu berlangsung dalam diam yang cukup lama.
“Apa-apaan, nih!?” teriakku kemudian. Terlambat.
Hari itu adalah sekitar seminggu sebelum keberangkatan Afifah ke Jakarta untuk menghadiri acara festival film ARKIPEL yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng. Kepergiannya bukan sebentar. Usai dari acara tersebut, Afifah melanjutkan langkah kakinya ke Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Ada sebuah proyek pertanian yang ingin dilakukannya di sana dan itu membutuhkan waktu kurang lebih empat bulan untuk menyelesaikannya. Tak peduli dengan keadaan adik dan “anak-anak”-nya nanti di Rumah Ponik, Afifah tetap harus pergi demi ingin terlibat dalam aksi pemberdayaan bersama masyarakat di Lombok.
Malam itu, aku tak langsung membaca buku yang dilemparnya itu. Aku hanya melihat sekilas, lalu tidur dengan pulas. “Ahh…, belajar biologi lagi?!” batinku, sembari memaksa otak untuk beristirahat.
Sedangkal itu pemikiran dan penilaianku waktu itu tentang apa yang dilakukan kakakku di kebun belakang rumah. Bagiku, yang dilakukannya adalah praktikum pelajaran Biologi SD dan SMP. Menanam benih, mengamati, lalu panen, dan diponten agar dapat nilai. Melihat sederet huruf susunan bahasa asing, pikiranku langsung teringat pelajaran Biologi SMA. Menghapal istilah latin untuk segala hal, hanya untuk lulus ujian.
Afifah mungkin melihat ketidaktertarikanku atas buku catatan yang sudah disusunnya serapi yang ia bisa itu. Mungkin juga ia melihat tanda bahaya, jika sampai akhirnya aku tak kunjung mempelajari buku catatan itu. Karenanya, Rabu, 9 Agustus 2017, Afifah memaksaku ke kebun.
“Praktikum kita, Dek!” perintahnya. Saat itu, aku masih bermalas-malasan dan enggan kotor. Tapi aku kemudian teringat akan empat bulan yang harus kulalui sendiri di Rumah Ponik. Akhirnya, aku melangkah ke kebun sambil terus melempar banyak alasan dan celotehan.
Di kebun, sudah banyak tanaman yang menungguku dengan “tatapan sinis” mereka. Ah, tidak…, tidak. Tanaman tak pernah sinis. Mereka baik hati dan rajin menabung. Jadi, hari itu aku disambut mereka dengan wajah hijau cerah dan merimbun. Bunga-bunga kuning si Timun dan Tomat—yang pada waktu itu aku masih belum tahu mereka siapa—sumringah sambil melambaikan sulurnya padaku. Sementara itu, Mint dan Seledri merunduk seperti sedang memberi hormat. Bibit-bibit Pagoda, Caisim, Bunga Telang, Okra, dan Terong, bersorak melihat anak baru yang tak tahu apa-apa ini. Apakah mereka tengah menertawakanku yang tak bisa membedakan bentuk mereka. Asal kau tahu, di-“bully” tanaman itu rasanya memang luar biasa!
Hari pertama di Kebun Sayurankita berjalan riweuh. Aku heboh dengan komentar-komentarku sendiri untuk setiap aktivitas yang dilakukan Afifah, ataupun yang diperintahkannya padaku. Mengapa begini? Mengapa begitu? Ini apa? Kok ini begini? Mengapa tidak begitu? Adalah kalimat tanya dariku yang lebih sering mendapat jawaban: “Kerjakan sajalah!” dari Afifah. Barangkali memang pertanyaan-pertanyaanku justru memancing emosinya. Bahkan, ketika hari menunjukkan pukul 10 dan praktikum diakhiri pun, aku masih tetap melontarkan tanya, “Loh, mengapa cepat sekali?” Sedangkan Afifah, ia berlalu sambil menjawab, “Aku lapar!”
Di hari pertama itu, Afifah memperkenalkanku pada “anak-anak”-nya. Sambil menyiram tanaman, Afifah menjelaskan perlakuan apa saja yang harus kuberikan demi keselamatan mereka. Afifah juga langsung memperlihatkan cara memindahtanamkan bibit-bibit yang layak pindah tanam. Juga bagaimana cara menyemai benih di media tanam tanah campur arang sekam. Hari itu juga, aku belajar bahwa tak ada yang lebih baik daripada berkotor-kotor di kebun sendiri. Tak ada yang lebih baik daripada melawan rasa geli, jijik, dan takut melihat uget-uget cacing yang teler diobok-obok bersama tanah dan arang sekam. Tak ada yang lebih baik daripada bangun pagi, menikmati sinar mentari, sambil berbasahan dengan air minum si Bayi-bayi Tanaman di Rumah Ponik itu.
***
“Okee!” jawabku, mengiringi keberangkatan Afifah subuh itu.
Senin pagi, 15 Agustus 2017, aku menyempatkan diri bertanya kepadanya tentang apa-apa yang harus kulakukan hari itu di kebun. Sembari menunggu Ayah pulang dari masjid, ia yang sudah berpakaian rapi dan dikelilingi tas carrier dan ransel, menjawab pertanyaanku yang tak habis-habis dan mencoba mengarahkan langkahku yang mulai kebingungan. Padahal, pergi ke bandara saja ia belum, tapi aku sudah panik duluan, meski tak kuperlihatkan. Aku berlagak tenang sambil terus menggulung inti kelapa dengan kulit dadar. Setibanya Ayah di rumah, Afifah langsung memangku ransel dan carrier-nya, pamit kepada kami untuk menyambut kegiatan yang sudah menanti di seberang pulau. Dengan diantar Hauza (saudara laki-laki kami), Afifah pun pergi dengan mengamanahkan “anak-anak”-nya kepadaku… yang masih bingung harus melakukan apa hari itu di kebun…
Pukul delapan pagi, seusai mengantar dadar gulung ke beberapa toko kue, kulangkahkan kaki ke Rumah Ponik. Hawa per-bully-an seketika terasa. Aku langsung saja waspada, khawatir tanaman-tanaman ini akan berbuat semaunya, menambah kebingunganku dengan hal-hal tak terduga. Hama yang mendadak banyak, misalnya…? Atau daun menguning, layu, lalu mati…? Bisa saja, kan…?!
Dengan sangat hati-hati, aku memulai aktivitas pagi itu. Menyiram tanaman, memberi pupuk, membersihkan media tanam bekas tempat menanam dan mengambil gambar. Tak lupa melaporkan setiap detail kegiatan yang kulakukan di Rumah Ponik kepada Afifah. Menceritakan kondisi mereka. Dan menanyakan kerjaan untuk esok harinya.
Hari pertama tanpa “si ibu” tanaman-tanaman itu, rasanya seperti tersesat di dalam hutan. Kebingungan dan panik sendiri. Entah sampai kapan jantung ini akan dipompa sesuka hati, setiap kali masuk ke dunia Sayurankita ini.
***
Pagi itu cerah. Aku bangun lebih awal agar pekerjaan subuh itu selesai lebih cepat. Aku ingin berada di Rumah Ponik setelat-telatnya pukul setengah delapan. Setidaknya, meski tak banyak yang bisa kulakukan, lebih cepat turun ke lapangan berarti lebih banyak lupa waktuku untuk berpikir melawan kebingungan; agar aktivitas pagi itu juga bisa berakhir dengan lebih banyak pekerjaan yang terselesaikan.
“Aaaaargh! Hamaaa!!!” teriakku sendiri, di tengah kebun.
Kesal dan panik bersatu membunuh mood yang sudah kujaga sejak subuh tadi. Hama cokelat yang melompat-lompat itu—belakangan aku tahu bahwa ternyata itulah yang disebut kepik cokelat—makmur di sudut Rumah Ponik, di tempat dua Pohon Tin tertanam dalam pot.
Segera aku melapor kepada “si ibu” tanaman yang sudah berada di seberang pulau, lebih jauh dari ujung Jawa sana. Betapa lambatnya respon si Kakak, membuatku semakin kesal. Dengan lugunya, ketepuk satu persatu kepik cokelat itu. Sambil terus menjerit, “Hyakss!” untuk setiap kepik yang penyet di telapak tanganku. Pagi itu, seketika saja aku menjadi “pembunuh”! Ada sembilan kepik yang mesti mati di tanganku.
Pesan dari Afifah baru masuk beberapa saat kemudian. Ia hanya menyuruhku menyiram mereka dengan air. “Dengan sendirinya mereka akan pergi,” katanya. Tapi aku seperti tak percaya, karena mereka terlalu banyak! Aku khawatir daun-daun timun yang begitu lunak itu akan habis dimakan mereka, para kepik yang tampak kelaparan. Aku juga takut bakal buah tin akan dibuat bolong-bolong oleh mereka. Pagi itu pun kuhabiskan untuk memburu hama-hama yang menyebalkan itu. Bukan hanya kepik, ada si Pak Belalang yang meninggalkan jejak di mana-mana berupa kotoran bulat-bulat yang awalnya kukira hama, kegencet, dan mambuatku semakin berteriak, “HYAAKSSS!!!”; ada semut merah dan hitam yang berpacu entah dari mana ingin ke mana, berputar-putar di pot seledri dan mint, dan sukses membuatku panik karena teringat pesan Afifah bahwa semut bisa merusak seledri; dan ada juga laba-laba yang segera saja kuusir… (yang ternyata, setelah kucari tahu sendiri, bukanlah hama, melainkan penolong para petani untuk membunuh hama. Laba-laba itulah yang rupanya akan bisa membantu membasmi semut, kepik, dan serangga-serangga hama lain yang membahayakan tanaman dengan cara memakan mereka semua. Aah…, aku jadi merasa bersalah sendiri sudah berlaku kasar kepada si laba-laba.
Perburuan hama hari itu berakhir di saat hari mulai siang sementara belum semua tanaman di Rumah Ponik mendapat jatah minum. Aku pun segera menyiram mereka satu per satu, sembari tetap waspada dengan hama, daun kuning, seledri layu, bercak putih pada daun-daun mint, dan hal-hal kecil yang tak bisa disepelekan lainnya. Meski pada akhirnya hanya sedikit yang bisa kulakukan di kebun hari itu, rasanya tetap melelahkan juga. Para hama memang menyita perhatian dan tenaga.
Di awal-awal setiap kegiatan, memang kita akan mempunyai energi dan semangat yang berlebih. Begitulah yang di rasakan si Anak Magang—panggilan Afifah untukku yang memang terlihat seperti anak magang—ini. Ada banyak ide yang muncul untuk membenahi sistem pengarsipan data tanaman-tanaman. Dimulai dari ingin membuat tabel tanaman, catatan harian tanaman, bahkan label nama tanaman. Hari itu, keinginan untuk membuat label tanaman tercapai meski hanya sebagian saja, lengkap dengan ke-puyeng-an yang bikin kesal karena nama-nama tanaman dan hari-hari pentingnya yang tak kunjung dilengkapi Afifiah. Akhirnya, pemberian label ini terhenti pada tanaman-tanaman yang memang kulihat dari awal penyemaiannya. Sementara, kelanjutannya tak jelas ujungnya. Waktu yang semakin terasa singkat dan melelahkan dari hari ke hari mengalihkan duniaku dari semangat menyusun arsip harian tanaman Sayurankita. Pada akhirnya, selagi ada waktu kosong meski hanya sejam saja, aku lebih memilih untuk istirahat.
“Daripada tumbang?!” bisikku ke diri sendiri, membela diri.
***
“Nah! Post-lah, Kak! Capek!” Begitu isi pesanku kepada Afifah hari itu.
Memasuki Minggu kedua kepergian Afifah ke Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, rasa bosan perlahan menyelinapi diriku. Seiring dengan tanaman-tanaman yang mulai bertingkah, entah apakah karena perlakuanku yang tak tepat, atau memang mereka punya masa-masa manjanya tersendiri. Ada mint yang nyaris habis dimakan hama kutu hitam sementara perjuanganku menyelamatkan seledri yang perlahan membusuk satu per satuitu belum lagi selesai. Semut tak kunjung habis, justru semakin banyak dan membabi buta menyerang tanaman-tanaman tak berdosa itu. Terong terserang kangker, mati secara perlahan namun pasti. Begitu pula tomat-tomat yang tak henti-hentinya berguguran. Di tambah pula para timun yang mulai menguning daunnya, mencokelat, lalu gugur dengan sendirinya.
“Baru dua Minggu, masa udah pada mau mati, sih?!” tanyaku lirih pada tanaman itu, nyaris setiap pagi. Sempat beberapa kali aku menangis karena kembali menemukan seledri yang terkulai lemah tak berdaya. Sudah kucoba untuk menyelematkan kaum selederi ini dengan berbagai cara, mengikuti berbagai saran dari teman-teman di media sosial, tapi tetap saja habis masa baktinya. Dari tujuh pot, mulai berkurang satu per satu. Belum lagi daun mint yang tiba-tiba kelihatan seperti habis terbakar! Kangkung yang menguning! Selada yang layu dan membusuk! Dan… Aaarrrgh…!!! Banyak sekali cobaan di Minggu kedua itu. Ada apa gerangan?!
***
Ibuku pun turun tangan.
Mungkin karena melihat anaknya yang tak pernah berkebun sayur ini sedang mati kebingungan, ia pun geregetan. Mint mulai dipangkasnya. Sambil memberi wejangan bahwa tanaman habis panen sebaiknya dirapikan. “Biar mereka tidak stress!” ujar Ibu. Aku hanya bisa manggut-manggut sambil menyiram tanaman yang lain.
Untung saja, tanaman timun, tin, dan pare yang masih bertahan di Rumah Ponok, sudah masuk masa berbuah. Paling tidak, kebertahanan mereka menjadi pengobat sedih hati setiap masuk ke Rumah Ponik.
Buah-buah yang hijau dan besar memberi kesegaran tersendiri. Meski masih belum bisa menebak waktu yang tepat untuk memanen pare dan timun, aku tetap bisa sumringah setiap melihat ada saja bakal buah yang baru dari tanaman-tanaman itu. Satu… dua… tiga… sepuluh timun! Mereka akan terus tumbuh beberapa hari ke depan, tentu saja! Ya, pasti! Sederet daftar olahan makanan berbahan dasar timun seketika datang mengantri di kepalaku. Ya, mereka bisa dijadikan macam-macam makanan! Aku memikirkannya dengan senyum-senyum yang lebih sumringah lagi. Dan masih ada pare, bisa dijadikan tumis pare, salah satu menu andalan Ibu. Hmm…! Suasana ini jadi pengobat mood yang sering kacau balau setiap kali aku meihat seledri atau mint.
Lalu ada caisim dan pagoda yang mulai mekar. Mereka tumbuh sehat, ukurannya seperti sayuran raksasa. Dari caisim, aku belajar bahwa “yang cukup memang yang terbaik”. Sebagian posisi talang tempat caisim ditanam berada tepat di bawah atap Rumah Ponik yang bocor. Karenanya, setiap hujan turun, bagian talang tersebut akan kebanjiran. Awalnya, kupikir kondisi itu akan membahayakan mereka, karena bisa jadi kelebihan air itu akan membuat para caisim membusuk. Tapi ternyata mereka tetap bisa hidup. Aku lantas berpikir, mungkin bisa jadi malah bagus jikalau mereka diberi banyak air, dan bisa tumbuh besar (?). Tapi rupanya, belakangan kudapati bahwa caisim-caisim yang berada di bagian itu tumbuh dengan kondisi keriput, sedangkan caisim-caisim yang tumbuh di area yang tidak terkena air bocoran atap, justru tumbuh besar dan segar-segar. Dari situlah aku sadar bahwa kebanyakan dan kekurangan air bisa membuat tanaman kurus ceking dan keriput. Jika terlalu banyak, bisa jadi busuk. Yang tepat adalah pemberian makan dan minum dengan takaran yang pas terhadap tanaman-tanaman ini. Biar mereka nggak begah dan libak. Tidak sakit dan lalu mati.
Dari pengalaman magic moment itulah, aku mencoba memperlakukan duo menyebalkan, si seledri dan si mint, dengan cara yang sama. Mencari-cari takaran “makanan” dan “minuman” yang pas untuk mereka agar keduanya tidak kekeringan, atau[un kebanjiran lalu membusuk.
Huft! Perjuangan masih panjang. Dan perasaan harap-harap cemas melihat pertumbuhan dan kondisi tanaman-tanaman di Rumah Ponik ini, sepertinya tak ‘kan berakhir. ***
Reblogged this on tawalife.
LikeLike