Penulis: Afifah Farida
Penyunting: Manshur Zikri
Hidup di pulau kecil yang dikelilingi oleh laut mengajarkan masyarakat Gili Meno untuk belajar memanfaatkan sumber daya alam yang ada di laut sebagai sumber makanan. Selain ikan, juga ada rumput laut atau karang-karang yang masih muda yang dapat diolah menjadi makanan, disebut bembulung. Menurut penuturan B Warni, salah seorang warga Gili Meno yang pada saat itu tidak sengaja saya temui sedang membersihkan bembulung di salah satu berugak dekat masjid Gili Meno, bembulung adalah sejenis karang muda yang dapat ditemukan saat air laut surut. Hanya di waktu-waktu tertentu, warga Gili Meno dapat memakan bembulung tersebut. Bembulung tidak boleh diperjual-belikan di luar pulau karena warga Gili Meno menyadari bahwa jika bembulung dipanen setiap saat maka aktivitasw itu dapat merusak ekosistem laut.

Penasaran dengan rasa dan proses pengolahan bembulung, saya dan Hamdani lantas mengikuti kegiatan Bu Warni pada pargi keesokan harinya: mengolah Bembulung.
Mengolah bembulung tidak serumit yang dibayangkan. Oleh masyarakat Gili Meno, bembulung diolah menjadi urap yang dicampur dengan biji kacang panjang. Bembulung dibersihkan dari lumut dan pasir yang menempel, kemudian ditumbuk kasar. Penumbukan bembulung ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dan lumut yang masih menempel di karang tersebut. Setelah hancur kasar, bembulung tersebut dicuci bersih dan direndam dengan air panas sekitar 10-15 menit. Resep yang digunakan sama dengan resep urap lainnya, yaitu kelapa parut, kemiri, bawang, dan cabai yang dibakar lalu digiling. Bumbu yang digiling kemudian dicampur dengan kelapa parut, bembulung, dan biji kacang panjang. Bembulung siap dimakan dengan nasi putih hangat bersama keluarga dan tetangga.




Bembulung adalah salah satu hasil yang diperoleh dari kegiatan mengangsat[1] ketika air laut surut. Bu Warni bercerita bahwa dulu bembulung masih sangat mudah ditemukan, tidak seperti sekarang. Pak Dana (suami Bu Warni) mengatakan bahwa saat ini, tidak hanya bembulung yang sulit ditemukan, tetapi juga ikan-ikan. Pak Dana berasumsi bahwa ini salah satu dampak dari banyaknya tamu Gili Meno atau dua Gili lainnya yang melakukan aktivitas snorkeling. Kerusakan karang tidak hanya diakibatkan karena tamu yang tidak sengaja menginjak karang, tetapi juga karena zat-zat kimia yang digunakan oleh manusia sebelum berenang. Zat-zat itu juga menjadi salah satu penyebab air laut terkontaminasi sehingga merusak karang. Menurut Pak Dana, memang ada wilayah-wilayah laut yang dikonservasi, tetapi karang-karang yang hidup dekat garis pantai tempat biasa warga mengangsat mulai mengalami kerusakan pula. Maka tidak heran, warga yang mengangsat sudah tidak seramai dulu.


Kini, menyantap bembulung akhirnya menjadi suatu aktivitas makan yang istimewa. Selain hanya bisa diperoleh ketika air surut, juga karena bembulung sudah sulit ditemukan, ditambah dengan warga yang mencari bembulung tidak seramai dulu. Hanya orang-orang yang ingin memakan bembulung-lah yang akan mencarinya, dan itu pun tidak memperoleh banyak. Tradisi mengolah bembulung dan makan bersama di berugaklah yang membuat bembulung menjadi makanan istimewa. Bu Warni mengatakan bahwa dalam selang beberapa kali mengangsat, ia akan tetap membuat bembulung agar anak-anaknya tetap dapat merasakan nikmatnya bembulung meskipun Pak Dana tidak menyukainya. Pak Dana mengaku tidak terbiasa makan bembulung karena bukan berasal dari Gili Meno dan baru mengenal bembulung setelah menikah dengan istrinya.

“Meskipun saya tidak suka bembulung, tetapi bembulung adalah salah satu makanan yang hanya ditemui di tiga Gili, termasuk Gili Meno. Maka, bagaimanapun caranya, sudah menjadi tugas warga untuk menjaga ekosistem laut agar bembulung tetap tersedia di laut untuk anak-cucu masyarakat Gili Meno nanti,” tegas Pak Dana, menutup percakapan kami beriringan dengan ludesnya bembulung di piring makan saya. ***
Catatan Kaki
[1] “Mengangsat” adalah istilah lokal di Lombok untuk kegiatan mencari sumber pangan di tepi pantai ketika air laut surut.