Penulis: Afifah Farida
Penyunting: Manshur Zikri
Kira-kira keahlian apa yang akan dimiliki oleh seorang anak laki-laki yang tumbuh dan besar di pulau dan melihat setiap hari orangtuanya membawa boat (kapal) dan melaut mencari ikan? Apa lagi selain bisa membawa kapal dan melaut juga? Buah memang tidak jatuh jauh dari pohon, kecuali buahnya diseret oleh ombak menuju tempat lain. Begitulah kira-kira yang terjadi di Gili Meno. Tidak sedikit anak-anak mewarisi keahlian orangtuanya untuk membawa boat (kapal) dan menjadi nelayan. Seperti yang terjadi pada Masrun, ketua Satgas Gili Meno.
Lahir dan besar di Gili Meno, sejak kelas 4 SD Masrun mulai mengikuti ayahnya pergi menambang (membawa boat) di lautan, baik mencari ikan atau antar-jemput penumpang yang datang dan pergi mengunjungi Gili Meno. Pada saat itu, tahun 1990-an, Gili Meno mulai banyak kedatangan pengunjung sehingga satu-satu nelayan mulai beralih profesi menjadi kapten kapal yang membawa penumpang, begitu juga dengan orangtua Masrun. Duduk di bangku kelas 6 SD, Masrun menerima tantangan dari ayahnya untuk menjadi kapten, mengendalikan kapal dengan penumpang di tengah lautan. Tidak berjalan mulus, kapal yang dibawa Masrun berputar arah karena tubuh dan kekuatannya yang masih belum seimbang dengan kekuatan mesin. Kegagalan tersebut tidak menghalangi Masrun untuk terus belajar menjadi kapten kapal. Kelas 2 SMP, Masrun kembali mencoba untuk membawa kapal meskipun belum begitu lihai mengendalikannya. Sifat pantang menyerah dan terus mencoba, mengantarkan Masrun menjadi salah satu kapten boat Gili Meno saat ini. Meskipun membawa kapal menjadi hal yang sudah biasa, namun Masrun masih terus belajar bagaimana menghadapi ombak, dan berteman bersama badai. Karena tidak menutup kemungkinan, Masrun akan menemukan badai di tengah lautan seperti yang pernah dialaminya saat membawa kapal dari teluk Kodek di mana kondisi angin dan ombak yang kencang di musim hujan.
Hal-hal tidak terduga tersebut menjadi guru dan pengalaman yang berharga bagi seorang kapten atau nelayan. Menurut Masrun, laut mengajarkan banyak hal tentang hidup seperti kesabaran, ketelitian, dan kepekaan. Masrun mengatakan bahwa laut mengajarkan kita untuk tetap tenang dalam menghadapi suatu masalah, seperti yang dikatakannya, “Intinya, menjadi kapten boat itu yang penting adalah tidak boleh panik ketika terjadi sesuatu, harus tetap tenang walaupun penumpangnya panik. Karena kalau kaptennya sudah panik, penumpang menjadi lebih panik, maka kapalnya bisa tenggelam. Kapten itu adalah orang yang dipercaya oleh penumpang. Maka kapten harus bisa berpikir jernih dan tenang dalam setiap kondisi. Sama aja, kalau kita menghadapi masalah dalam hidup, tenang saja dulu, berpikir jernih. Maka, InsyaAllah aman. Hehe…!”
Masrun mengakui bahwa laut juga mengajarkan kepekaan dalam melihat sesuatu. “Karena kalau kita gak peka, susah ngatur arah kapal. Arah kapal tergantung dari arus atau pergerakan air laut dan tiupan angin. Kalau kita gak bisa melihat gerak air laut dan tidak bisa merasakan arah angin, kan susah…?!” jelas Masrun dengan santai. “Oh, iya, jadi kapten juga harus sabar, karena akan banyak jenis penumpang yang kita temui. Gak semua penumpang biasa naik kapal, jadi ada yang nangis, muntah, bahkan pingsan di atas kapal,” Masrun masih menceritakan pengalamannya dalam mengahadapi penumpang.
Masrun menekankan bahwa menjadi kapten kapal memang bukan hal yang instan, “Gak bisa cuma dengan ikut ujian untuk mendapatkan SKK (Surat Keterangan Kecakapan) dalam membawa kapal kita bisa langsung jadi kapten yang bisa bawa kapal. Karena ujian yang dilakukan itu tertulis. Menjadi kapten kapal, bukan cuma harus tahu teori, tapi harus tahu kondisi sebenarnya di lautan. Setiap musim dan cuaca akan berbeda kondisinya. Berbeda dengan naik mobil atau motor, yang jalannya sudah pasti. Kalau kapal, kan, jalannya tergantung angin dan iklim.”
Masrun mengatakan bahwa ada teknik-teknik yang cuma bisa diketahui karena sudah terbiasa membawa kapal, seperti bermain dengan gas mesin untuk menahan gerakan ombak ketika gelombang besar atau apa yang harus dilakukan ketika mesin mati atau mesin masuk air.
“Menghabiskan waktu bersama ombak di lautan juga akan mengajarkan kita untuk menghargai hidup dan alam. Meskipun capek, tetapi saya senang menjadi kapten!” Masrun mengakhiri diskusi saya dengannya, karena langit mulai memerah. ***
NB: Sayangnya, saya tidak sempat mendokumentasikan perjalanan saya bersama Masrun. Foto yang digunakan adalah pengalaman menaiki kapal bersama kaptel kapal lain, yang namanya lupa saya tanya.