Penulis: Fajar Amiruddin (anggota Komunitas Beranibaca.id)
Catatan: Afifah Farida Jufri
Penyunting: Ade Surya Tawalapi
Tulisan ini juga dimuat di akun instagram penulis dengan judul “Petualangan si Wortel Kembar“. Dimuat di Sayurankita.com dengan suntingan baru atas izin penulis.
SUATU KETIKA di sebuah desa Yurmayur. Berjalanlah dua gadis wortel menuju gerbang desa dengan tertatih-tatih. Kedua gadis itu adalah Wortelira dan saudara kembarnya, Wortelura. Mereka berdua terpilih untuk menyelesaikan misi suci dari kepala desa, yakni mencari mata air keabadian guna menyelamatkan desa mereka dari kemarau panjang.
“Kak Lira, aku lelah sekali,” kata Wortelura di tengah perjalanan. “Kenapa, sih, kita yang mendapatkan misi suci ini?” tanyanya kepada sang kakak, Wortelira. Kakak adik itu tampak sangat kelelahan. Wortelura bahkan tampak tidak sanggup lagi untuk berdiri.
“Sudah menjadi takdir kita, bangsa wortel, untuk menyelesaian misi ini, Lura,” jawab Wortelira, terengah-engah.
Ras wortel memang terkenal sebagai ras yang mampu bertahan lebih lama tanpa air[1]. Berbeda dengan ras sayur dan buah lainnya. Banyak dari mereka yang mati karena kekurangan air, sebab mereka sangat bergantung dengan air sebagai sumber utama energi mereka. Anak-anak dari kaum sayur dan buah tidak mampu bertahan lebih dari tiga hari, sementara para orang tua sudah semakin tua dan rapuh. Kemarau yang berkepanjangan di desa ini bisa menjadi malapetaka bagi kaum sayur dan buah bila tidak segera diatasi.
“Tapi kemana lagi kita harus mencari, Kak?” tanya Wortelura dengan putus asa. “Sudah hampir satu bulan kita mencari ke setiap pelosok, tapi tak juga menemukan mata air keabadian itu.”
“Ada satu tempat yang belum kita datangi, Lura,” jawab kakaknya lirih. Ada keragu-raguan dalam suaranya. “Hutan Bencana.”
“Oh! Tidak, Kak Lira!” kata Wortelura terpekik. “Jangan Hutan Bencana! Aku tidak mau ke sana!”
Namun, Wortelira dan Wortelura tidak punya pilihan lain. Hutan Bencana adalah satu-satunya tempat yang belum mereka datangi Setelah perdebatan panjang, akhirnya mereka memutuskan akan pergi ke Hutan Bencana esok pagi, meskipun masih ada rasa takut di benak kedua wortel kembar itu.
Ketakutan Wortelura terhadap Hutan Bencana bukan tanpa sebab. Ada banyak mitos yang beredar tentang hutan rimba yang gelap itu. Salah satunya menyebutkan bahwa Hutan Bencana dijaga oleh sesosok penyihir blender yang jahat. Penyihir itu bisa dengan sekejap mengubah sayur dan buah menjadi segelas jus.
“Kak, aku takut,” bisik Wortelura saat melewati Hutan Daun Bawang. Sepertinya, kemarau panjang juga melanda hutan yang lebat ini. Daun-daun bawang tampak terkulai lemas. Sebagiannya sudah mati.
“Tenang, Lura. Aku di sini,” kata Wortelira, mencoba menenangkan adiknya walaupun ia sendiri juga merasakan takut.
Mereka menempuh Hutan Daun Bawang dengan hati-hati. Perjalanan mereka cukup panjang sampai akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan mati tersebut. Sekeluarnya mereka dari hutan mengerikan itu, Wortelira dan Wortelura melihat pemandangan yang sama sekali tidak mereka duga. Terbentang di hadapan mereka hutan hijau segar dengan danau jernih di tengahnya. Di sebelah kiri hutan, tampak para Seledri sedang berayun di ranting-ranting pohon Apel. Sementara, kawanan Tomat sedang asyik mandi dan berenang di danau, yang berada tepat di tengah-tengah hutan. Di atas mereka tampak kerumunan Selada yang beterbangan ke sana kemari. Semua tampak bahagia dan suasananya sungguh menyenangkan. Lalu, kedua wortel kembar itu menoleh ke kanan dan tiba-tiba sebuah blender besar berdiri tepat di samping mereka.
“Aaaaaaa!!” teriak Wortelira dan Wortelura bersamaan. Mereka terkejut dengan kehadiran si Penyihir Blender. Dengan ketakutan, mereka langsung bersembunyi di balik pohon besar.
“Hohoho! Jangan takut, Anak Manis,” terdengar suara berat dari arah danau. “Perkenalkan, aku Blendery. Hendak apa gerangan kalian datang ke Hutan Bencana ini, Wortel-wortel Cantik? Hohoho.” Wortelira dan Wortelura terdiam mendengar sapaan hangat dari Blendery. Rasa takut mereka sedikit berkurang. Lalu, perlahan-lahan mereka keluar dari persembunyian.
“Ja… jangan sakiti kami, Penyihir!” kata Wortelira, memohon.
“Ka… kami hanya mau mengambil sedikit air dari mata air keabadian,” jawab Wortelura, memberanikan diri. “Jangan jadikan kami jus!” pintanya.
“Hohoho…!” Blendery kembali tertawa. Seluruh tubuhnya berguncang. “Sepertinya berita tentang penyihir blender dari Hutan Bencana ini sudah menyebar. Baguslah,” kata Blendery.
“Ap… apa maksudmu?” tanya Wortelira dengan suara lirih.
“Aku memang sengaja menyebarkan berita bohong itu, Anak-anak,” jawab Blendery, “agar tempat tinggalku tetap terjaga,” katanya lagi sambil meperlihatkan tempat tinggalnya yang begitu asri.
Wortelira dan Wortelura mendengar penjelasan Blendery dengan terpana. Mereka tidak percaya bahwa ternyata Blendery tidak seseram yang mereka bayangkan. Mereka pun akhirnya tidak takut lagi kepada Blendery, si “Penyihir Blender”.
“Maafkan kami, Tuan Blendery,” kata Wortelira. “Tapi kami tidak punya banyak waktu. Kami harus segera membawakan air dari mata air keabadian ke desa kami. Desa Yurmayur sedang dilanda kemarau panjang. Bisakah Tuan memberikan kami sedikit air itu?” pintanya kemudian, dengan sangat sopan.
“Oh, tentu, Anak Manis! Hohoho,” ucap Blendery. Kemudian, blender itu langsung memanggil anak-anaknya. “Anak-anak, kemarilah! Saatnya kita menolong kedua wortel cantik ini,” seru Blendery sambil tersenyum kepada Wortelira dan adiknya.
Langsung saja para Tomat, Seledri, Selada, Apel, dan Mangga mengitari Blendery. Begitu pula dengan sayuran dan buah-buah lainnya. Mereka membentuk lingkaran besaran dan bernyanyi.
“Ayo, ayo! Mari bantu kawan kita yang membutuhkan bantuan Tuan Blendery. Dengan ramuan ajaib dari kami.”
Blendery membuka tutupnya dan anak-anaknya memasukan air danau yang jernih. Lalu masing-masing dari mereka melompat ke atas Blendery dan meneteskan sari buah dan sayur.
“Ramuan ajaib kami, hanya kami beri kepada mereka yang pemberani,” ucap anak-anak Blendery sambil bernyanyi dengan riang.
Si Penyihir Blender itu pun mulai merapalkan mantra. Dengan perlahan, semua bahan teraduk menjadi satu. Kemudian, boom! Jadilah jus warna-warni yang cantik dan berkilau.
“Wahai, Wortel-wortel Cantik, ini adalah air yang kalian cari,” kata Blendery sambil meneteskan sedikit jusnya kepada si Kembar yang terlihat mulai layu. Dengan ajaib, Wortelira dan Wortelura pun menjadi segar kembali.
“Segeralah bawa air ini ke desa kalian, Anak-anak,” kata Blendery lagi. “Lalu teteskan ke seluruh penduduk desa. Sisanya, kalian masukkan ke sumber air di desa kalian. Sumber air itu akan kembali mengalir.” Sambil mengangguk, kedua wortel itu menerima pemberian Blendery dengan senang hati. Segera mereka meninggalkan Hutan Bencana dan kembali ke Desa Yurmayur.
Perjalanan panjang yang dialami kedua kakak adik itu mengajarkan mereka bahwa ternyata Hutan Bencana tidak semengerikan namanya. Nama tersebut sengaja diberikan untuk menjaga keasrian hutan tersebut. Wortelira dan Wortelura pun berjanji akan ikut menjaga hutan tersebut. Mereka juga berjanji akan mengajak warga Desa Yurmayur melestarikan Hutan Bencana agar tempat tinggal Blendery dan anak-anaknya tidak rusak. Selain itu juga agar mata air keabadian tetap terjaga. Menurut wortel kembar itu, begitulah cara yang tepat untuk membalas jasa Blendery dan anak-anaknya.
Sebelum menghilang dari pandangan, si Kembar kembali melambaikan tangannya dan meneriakkan ucapan terima kasih dan selamat tinggal.
“Terima kasih, Tuan Blendery! Terima kasih, Teman-teman! Selamat tinggal!”
“Ya, sampai jumpa, Anak-anak! Selalu ingat manfaat sayur dan buah, ya!” teriak Blendery dari kejauhan.***

[Catatan]
[1] Dalam dongeng ini, penulis memang menampilkan wortel sebagai tanaman sayur buah yang kuat, yang mampu bertahan tanpa air. Namun sesungguhnya, wortel adalah sayuran buah yang akan tumbuh dengan optimal pada kondisi tanah yang gembur dan berdrainase baik dengan pH (tingkat keasaman) tanah sekitar 5-8. Wortel (Daucus carota L) termasuk dalam famili Umbeliferae yang berasal dari Asia Tengah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah subtropis atau di dataran tinggi daerah tropis dengan ketinggian 1200-1500 m di atas permukaan laut. Wortel membutuhkan suhu optimum 15-21 derajat Celcius dan cukup air terutama pada awal pertumbuhan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan daun dan akar[a].
Wortel yang biasa kita makan merupakan akar yang mengalami perubahan fisiologis menjadi tempat penyimpanan makanan. Oleh karena itu, dibutuhkan tanah dengan drainase yang baik, agar tanaman wortel tidak tergenang atau terendam air demi mencegah pembusukan akar dan perusakan pertumbuhan umbi. Wortel dapat dipanen setelah berumur 100 hari setelah tanam, tergantung pada jenisnya. Keterlambatan panen akan menyebabkan wortel memiliki umbi yang keras.
Apakah wortel bisa ditanam di dataran rendah? Wortel tetap bisa tumbuh jika ditanam di dataran rendah. Akan tetapi, tidak akan menghasilkan umbi. Balai-balai penelitian masih mencoba melakukan penelitian agar wortel dapat di tanam di dataran rendah yang memiliki suhu rata-rata 28 derajat Celcius, di atas suhu optimum pertumbuhan wortel[b].
[Referensi]
[a] Hortikultura.litbang.pertanian.go.id. 2013. Budidaya Tanaman Wortel. (Diakses pada 17 April 2019, 21.15 WIB)
[b] Encyclopedia of Life. Daucus carota ssp. sativus (Hoffm.) Arcang. (Diakses pada 17 April 2019, 21.15 WIB)