Konten : Afifah Farida
Hai… Hai…! Jumpa lagi denganku: Ponik. Dua minggu lalu, kita sudah berkenalan, bukan? Ya, ini aku, Si Hidroponik. Kali ini, aku ingin bercerita tentang rumahku. Karena aku adalah sebuah sistem, aku juga sama denganmu: rumah menjadi bagian penting untuk menopang keberlangsungan kerjaku sebagai sebuah sistem tanam, agar tanaman-tanaman yang mendapatkan penerapan hidroponik bisa tumbuh dan berkembang maksimal. Yuk, mari masuk ke dalam rumahku!

Aku biasanya dikembangkan dalam sebuah rumah yang lebih dikenal umum sebagai rumah kaca atau greenhouse. Kamu bingung, ‘kan, mengapa ‘rumah kaca’ bisa disamakan dengan greenhouse? Biar kujelaskan secuplik sejarah tentang rumah kaca a.k.a greenhouse ini. ‘Rumah kaca’ yang aku maksud merupakan salah satu bangunan tanam yang dikonstruksi untuk mempertahankan lingkungan tumbuh tanaman dari kondisi lingkungan yang sangat ekstrem. Bisa jadi, pada saat tertentu, suhu lingkungan sangat rendah atau sangat tinggi, atau sedang mengalami hujan badai dengan angin puting beliung, atau intensitas menerima cahaya matahari yang sangat tinggi. Kondisi-kondisi ini tidak disukai oleh beberapa tanaman. Karenanya, dibutuhkan sebuah rumah tempat mereka berlindung dan supaya dapat tumbuh di luar musimnya (out-of-season). Seperti yang kita tahu, faktor utama yang membuat tanaman tumbuh dengan baik adalah cahaya. Maka, rumah tersebut harus tembus cahaya sehingga tanaman tetap menerima asupan energi matahari. Kaca adalah salah satu bahan yang cocok. Itulah mengapa kemudian orang-orang menyebutnya ‘rumah kaca’. Akan tetapi, kaca bukanlah satu-satunya bahan yang bisa tembus cahaya. Sudah ada banyak penemuan bahan-bahan yang bisa ditembus cahaya. (Sabar, akan kujelaskan nanti…!)
Catatan Pliny the Elder,[1] yang berjudul “Vegetables of a Cartilaginous Nature—Cucumbers”, menyebut bahwa wadah tanam yang mirip rumah kaca ini sudah ada sejak era Kekaisaran Romawi, tepatnya pada masa kepemimpinan Raja Tiberius (14-37 M). Sang Raja sangat menyukai mentimun. Dia melakukan apa saja demi menikmati mentimun setiap hari. Raja kemudian memiliki ide untuk menanam mentimun di sebuah gerobak kecil yang dilapisi oleh selenite (salah satu mineral sejenis silika) yang dapat ditembus cahaya matahari dan suhu yang hangat di malam hari, bahkan mentimun-mentimunnya pun dapat tumbuh pada saat musim dingin (Secundus, 1857, hal. 156).

Perlu juga kamu ketahui bahwa bangunan atau ruang yang diistilahkan sebagai botanical gardens—tempat untuk merawat dan menumbuhkembangkan tanaman untuk tujuan tertentu—disebut-sebut sudah ada jauh sebelumnya, contohnya yang dibuat di Italia oleh Anthony Castor[2] dengan kesadaran tentang pentingnya penelitian mengenai tanaman (The Literary Chronicle and Weekly Review, 1821). Konon, kebun si Castor itu kira-kira baru ada empat ratus tahun setelah Lyceum[3] yang terkenal itu (Sarton, 1952). Sementara, Sunil D. Purohit (2013, hal. 272) menyatakan bahwa bangunan-bangunan yang dikenal dengan nama Giardini botanici (bahasa Italia untuk botanical gardens), yang dibangun pada abad ke-13 M untuk melestarikan tanaman eksotis dari daerah tropis, cukup identik dengan model rumah kaca modern zaman sekarang. Kemudian, Botanical Gardens (Orto Botanico) di Padua, Italia, dibangun tahun 1545, yang pada masa-masa selanjutnya melakukan penelitian tanaman dengan menerapkan teknologi rumah kaca a.k.a greenhouse (Botanical Garden (Orto Botanico), Padua, n.d.).

Tapi, penemuan rumah kaca ternyata telah berlangsung di Korea pada masa 1450-an, loh…! Adalah Sangayorok, sebuah manuskrip asal pertengahan abad ke-15, yang memberitahukan itu semua. Menurut Sang Jun Yoon dan Jan Woudstra (Yoon & Woudstra, 2007), dalam naskah tua yang ditulis oleh Soon ui Jeon ini, tercatat keterangan bahwa pada masa itu, Korea—yang pada masa kepemimpinan Dinasti Joseon (1392-1910) gencar mengembangkan teknologi dan pengetahuan hortikultural yang sangat baik, sebagaimana diungkapkan dalam buku berjudul Annals of the Joseon Dynasty (1893)—telah memiliki sistem rumah kaca yang maju. Jeon bahkan mencantumkan di dalam naskahnya tersebut petunjuk-petunjuk yang dapat membantu menjelaskan referensi mengenai “tanaman di luar musim” dalam naskah-naskah kontemporer lainnya. Yoon dan Woudstra menegaskan bahwa rumah kaca ala Jeon ini lebih tua keberadaannya dibandingkan rumah-rumah kaca yang dibangun di Florence[4] dan Fontainebleau[5] (yang selama ini dianggap sebagai rumah-rumah kaca pertama di dunia). Namun, Purohit (2013, hal. 273) menyebutkan bahwa rumah kaca modern pertama justru dikembangkan oleh ahli botani Prancis, Charles Lucien Bonaparte, di Leiden, Belanda, untuk menumbuhkembangkan tanaman obat tropis dalam suatu sistem yang dapat mengatur kadar panas dan dingin di lingkup area tanam. Menurut Purohit, perkembangan itu terjadi karena adanya persebaran pengetahuan tentang alam dari Italia. Seiring kemajuan ilmu botani dan ditemukannya bahan kaca berkualitas tinggi, maka di abad ke-17 infrastruktur rumah kaca modern pun menjadi populer di Eropa.
Dari sejarahnya, rumah kaca ternyata banyak ditemukan di negara-negara empat musim, yakni lokasi-lokasi dengan kondisi iklim yang dapat menghalangi kegiatan menanam karena memiliki suhu yang dingin ketika salju turun. Pada musim ini, tanaman-tanaman akan mengalami pembekuan sehingga sulit tumbuh dengan baik. Penemuan rumah kaca memecahkan masalah itu. Di dalam rumah kaca, tanaman nggak akan kena salju dan suhu dalam rumah kaca pun dapat diatur menjadi lebih hangat dibandingkan dengan di luar rumah. Sifat rumah kaca yang dapat ditembus cahaya matahari memungkinkannya memerangkap kehangatan cahaya tersebut di interior bangunannya. Jadi, di saat semuanya menjadi serba putih pada musim salju, rumah kaca tidak demikian, karena ada tumbuhan hijau yang bergembira di dalamnya. Itulah alasannya, mengapa rumah kaca sering juga dikenal dengan sebutan “rumah hijau” atau “green house”. Cieee… cieee…!
***
Lah, terus kenapa aku dikembangkan di rumah kaca…?
Jadi, begini…! Ternyata, rumah kaca memiliki banyak kelebihan selain dapat memerangkap hangatnya cahaya matahari di musim dingin. Menurut informasi dari Agricultural Western Australia tahun 2000, rumah kaca juga memiliki dua keunggulan. Pertama, tanaman dapat ditanam dan berproduksi sepanjang tahun karena rumah kaca dapat memberikan lingkungan yang optimum untuk tanaman. Kedua, risiko tanaman terserang hama dan penyakit menjadi lebih kecil karena lingkungannya terisolasi dari lingkungan luar yang gampang terserang penyakit.
Karena aku adalah sebuah sistem yang menjunjung tinggi penggunaan air dan hara yang efisien, rumah kaca adalah tempat yang paling tepat agar aku bisa berlindung dari hujan, selain menghangatkan tanaman di musim dingin dan berlindung dari serangan hama dan penyakit. Soalnya, sistemku ini harus waspada terhadap air hujan karena zatnya dapat berpengaruh pada larutan hara yang diserap tanaman. Misalnya, jika menggunakan sistem hidroponik, demi tumbuh maksimal, tanaman hanya membutuhkan satu sendok makan hara yang telah dilarutkan dalam secangkir air. Maka, apa jadinya jika air hujan yang banyak itu menimpa tanaman-tanaman yang sedang tumbuh? Bercampurnya air hujan menyebabkan volume secangkir air menjadi bertambah sehingga satu sendok makan hara akan menjadi lebih encer. Dengan kata lain, tanaman tersebut akan mengalami kekurangan unsur hara. Konstruksi rumah kaca dapat mencegah sistemku mengalami insiden menyedihkan semacam itu.
Kalau musim dingin adalah alasan ditemukannya rumah kaca, apakah daerah tropis seperti Indonesia tetap memerlukan rumah kaca…? ‘Kan butuh biaya yang lebih besar…!?
Betul sekali!
Membangun rumah kaca memang tidak murah. Memang perlu biaya extra di awal pengerjaannya. Akan tetapi, dalam konteks ekonomi, langkah itu bisa dibilang sebagai sebuah investasi demi keuntungan yang tidak kalah besar. Indonesia memang negara tropis. Tapi ingat! Hujan di Indonesia juga bisa datang kapan saja dan dalam waktu yang lama, plus dengan angin yang kencang. Karenanya, rumah kaca dapat menjadi jalan keluarnya.
Biaya mahal…? Hm…! Itu tergantung desain dan cara instalasinya. Nyatanya, model rumah kaca tidak hanya satu jenis. Ada banyak, dan bisa disesuaikan dengan konteks ruang daerahnya.
Jenis-jenis rumah kaca tergantung dari bahan pembentuknya. Ada yang namanya rumah plastik (plastic house), berbahan atap yang terbuat dari plastik UV. Ada rumah kasa (screen house), yang mengarah pada konsep protektif dari serangan hama dan penyakit. Ada rumah naungan (shade house), yang lebih dominan digunakan untuk pembibitan atau untuk tanaman yang tidak terlalu memerlukan cahaya matahari secara langsung (untuk nurseri-tanaman hias). Ada juga rumah bilah (lath house), yang fungsinya sama dengan rumah naungan, hanya saja bahan naungannya dari bilah-bilah kayu.




Ada pula pembagian jenis rumah kaca berdasarkan jumlah atapnya, seperti rumah kaca atap tunggal (lean-to greenhouse) yang beratap satu sisi, atau rumah kaca dua atap (even-span greenhouse). Kalau berdasarkan bentuk atapnya, ada yang berbentuk melengkung (quonset) dan lurus (gable). Yang terakhir, rumah kaca juga dapat dibedakan berdasarkan cara penyusunannya. Ada rumah kaca unit tunggal (detached hosue) dan rumah kaca aneka unit (ridge and furrow greenhouse) atau rumah kaca unit tunggal gabungan.



Indonesia atau negara-negara dengan iklim tropis, lebih cocok menggunakan tipe rumah kaca unit tunggal beratap lurus karena konstruksinya dapat menyediakan ventilasi dan pencahayaan yang baik. Ya, rumah kaca di Indonesia memang harus membutuhkan sistem ventilasi yang baik agar suhu di dalam rumah kaca tidak terlalu panas. Sedangkan untuk daerah subtropis, rumah kaca aneka unit beratap lengkung lebih disarankan karena lebih efisien dalam pemanfaatan energi matahari.
***
Baiklah kalau begitu! Lalu, bagaimana membangun rumah kaca untuk keberlangsungan sistemku, hidroponik?
Oke, simak baik-baik!
Hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah memilih lokasi yang tepat! Coba ingat lagi, selain cahaya matahari, tanaman membutuhkan apa lagi…?
Ya…! Air!
So…?

Sebelum membangun rumah kaca untukku, pastikan terlebih dahulu apakah lokasi untuk rumah kaca itu dapat menyediakan pasokan air yang baik, yakni dengan ukuran pH 5-6.5, dan dalam jumlah yang cukup banyak. Selanjutnya, tinjau ketersediaan instalasi listrik—jika kamu memerlukannya. Sistemku ini bisa menggunakan listrik, bisa juga tidak. Itu tergantung skala usaha yang akan kamu lakukan, hanya untuk hobi, kah, atau bisnis…? Terakhir, camkan ini baik-baik, jangan pernah membangun rumah kaca di tempat yang ternaungi oleh pohon karena akan mengurangi cahaya yang masuk ke rumah kaca. Selain itu, jangan membangun rumah kaca di area yang dekat dengan tempat penimbunan sampah, ya! Soalnya, itu bisa jadi sarang hama dan penyakit bagi tanaman.
Jika ketersediaan lokasi dan air sudah oke, silahkan membangun rumah untukku! Hehehe…!
Oh, iya…! Ada satu hal lagi yang perlu kamu ketahui: energy exchange…! Keseimbangan aliran energi antara rumah kaca dan lingkungan di luarnya. Kondisi aliran energi ini perlu diperhitungkan demi mempertahankan agar lingkungan tumbuh menjadi optimal bagi tanaman. Di daerah tropis, suhu hangat di rumah kaca harus dikeluarkan, sedangkan di daerah subtropis suhu hangat perlu dipertahankan. Nah, cara untuk mengeluarkan dan mempertahankan suhu tersebut, salah satunya, dengan memperhatikan ventilasi. Disadari atau tidak, ventilasi merupakan cara yang paling ekonomis, loh…! Atau, kamu juga bisa menggunakan evaporative cooling system. Prinsip dari sistem ini ialah menurunkan suhu udara dalam ruangan menggunakan sejumlah uap air. Bisa dengan kipas angin yang ada es nya, atau menggunakan air conditioner, atau hanya sekedar meletakkan baskom-baskom yang berisi air, atau menyiramkan air ke rumah kaca pada jam-jam tertentu.
Sudah dicatat semuanya…?
Apa…?! Kamu mau membuat rumah kaca agar aku bisa bekerja dengan baik, tetapi kamu tidak memiliki cukup modal untuk itu…?
Tenaangg…!!! Mahal atau murahnya rumah kaca untukku, itu tergantung dari tujuannmu. Toh pada prinsipnya, rumahku hanya untuk melindungi sistemku dari hujan yang dapat merusak konsentrasi larutan hara untuk tanaman, serta untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Cuma itu, kok! Serius, deh! Yang penting, kamu nyaman dan bahagia melihat sistemku berkembang di rumah kaca yang kamu bangun. Apa pun bentuk dan jenisnya. Aku percaya, kamu sebenarnya jauh lebih kreatif dari apa yang bisa kamu bayangkan, demi menyediakan rumah kaca itu untukku. Hehehe…!
Fungsi rumah itu, semuanya sama: memberikan kenyamanan untuk tumbuh dan berkembang bagi setiap anggota rumahnya. Begitu juga dengan rumah untukku. Iya, rumah yang dibangun agar sistemku—hidroponik—bekerja dengan baik dan menghasilkan tanaman yang baik pula. Hm, begitulah kira-kira.
Jadi, apa lagi yang masih kamu khawatirkan untuk mulai menanam…???!!! Yuk, mari kita mulai menanam…!!!
Salam,
Sayurankita
Catatan Kaki
[1] Menurut situs web Oxford Reference, orang yang kita singgung ini bernama asli Gaius Plīnius Secundus (23 – 79 M). Dia adalah seorang penunggang kuda terkemuka Romawi kala itu, seorang paman dari Pliny the Younger, terkenal sebagai pengarang 37 volume buku, berjudul Natural History, sebuah ensiklopedia pengetahuan kontemporer pada masanya (Lihat “Pliny the Elder”, diakses tanggal 13 Maret 2016). Situs web Encyclopædia Britannica menyebutkan bahwa meskipun akurasi informasi dalam buku Pliny the Elder masih diperdebatkan, dia tetap dianggap sebagai pembuat ensiklopedia pertama di dunia (lihat “Natural History: Encyclopedic scientific work by Pliny the Elder”, diakses tanggal 13 Maret 2016).
[2] Atau, biasa ditulis juga dengan Antonius Castor.
[3] Sebuah gimnasium di dekat Athena, yang kemudian menjadi lokasi bagi sebuah ruang belajar filsafat yang didirikan oleh Aristoteles di era 300-an SM. Di daerah itu, diketahui bahwa Theophrastos, penerus Aristoteles, membangun kebun. Lihat William Morison (2006), “The Lyceum“, Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 14 April 2016. Beberapa sumber lainnya didapatkan dari Wikipedia Bahasa Inggris.
[4] Sebuah kota di Italia.
[5] Sebuah komune di area metropolitan Paris. Di daerah ini, misalnya, King François I pernah memiliki kebun jeruk di depan kastilnya pada tahun 1520-an. Lihat Pierre Laszlo, Citrus: A History (Chicago: University of Chicago Press: 2008), catatan di hal. 208.
Bibliografi
Laszlo, P. (2008). Citrus: A History. Chicago: University of Chicago Press.
Botanical Garden (Orto Botanico), Padua. (n.d.). Dipetik April 14, 2016, dari World Heritage Convention, UNESCO: http://whc.unesco.org/en/list/824
Purohit, S. D. (2013). Introduction to Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Delhi: PHI.
Sarton, G. (2011). Ancient Science Through the Golden Age of Greece. New York: Dover Publications, Inc.
Secundus, G. P. (1857). Vegetables of a Cartilaginous Nature – Cucumbers. Dalam G. P. Secundus, The Natural History of Pliny (J. Bostock, & H. T. Riley, Penerj., Vol. IV, hal. 156-158). London: Henry G. Bohn, York Street, Covent Garden.
The Literary Chronicle and Weekly Review. (1821, September 22). The Botanic Gardens of Europe. Dalam The Literary Chronicle and Weekly Review, For 1821: Formin an Analysis and General Repository (hal. 602-603). London: Limbird, 355, Strand, two doors east of Exeter Change.
Yoon, S. J., & Woudstra, J. (2007). Advanced Horticultural Techniques In Korea: The Earliest Documented Greenhouses. The Garden History Society, 35(1), 68-84. Diakses dari http://doi.org/10.2307/25472355
Penyunting : Manshur Zikri
nice article! informatif dan menambah wawasan.. keep writing mbak ipeh! 🙂
LikeLiked by 1 person
Halo, Shalati Febjislami.
Terima kasih atas tanggapannya. Selalu update kronik Sayurankita, dan nantikan esai-esai dari kakak kita, Afifah, ya!
Salam Hangat! 🙂
-Ponik-
LikeLike