Konten : Afifah Farida
Hai! Bertemu lagi denganku, Si Ponik. Tenang, jangan bingung! Aku adalah nama lain dari Si Hidroponik. Aku ada karena Sayurankita. Mungkin kamu sudah membaca dua kisahku beberapa waktu lalu di sini dan di sini. Aku masih punya banyak cerita tentang apa dan bagaimana kegiatan Ponik dan teman-teman. Yuhuu…! Seperti yang dijelaskan dalam cerita Sayurankita yang lalu, Ponik tidak sendiri. Ada teman-teman (Kak Ipeh, Ade, Papi, dan lainnya) yang selalu meramaikan cerita hari-hari Ponik.
Kali ini, Ponik ingin bercerita tentang balada pembangunan rumah Sayurankita: Rumah Ponik. Tepatnya, tanggal 30 Maret, 2016, batu pertama mulai diletakkan oleh ayah dari tim Sayurankita (kami dan anak-anaknya biasa memanggilnya Papi). Selanjutnya, seperti pembangunan-pembangunan rumah yang lain, sedikit demi sedikit rumah Rumah Ponik menunjukkan konstruksi bangunannya.
Sempat terjadi kegalauan, sih, saat itu. Ponik lupa memeriksa kualitas air di area pembangunan rumah. Takaran kualitas air itu, salah satunya, bisa dilihat dari pH (tingkat keasaman). Seharusnya, sih, pH air di area tersebut masih baik untuk tanaman karena sumber air yang ada masih tergolong jenis “air sumur”. Tapi tetap aja dag dig dug der. Kalau ternyata pH-nya rendah (terlalu asam), bisa jadi Ponik bakal gagal punya rumah. Syukurlah, setelah diuji dengan pH meter[1] pinjaman, ternyata kualitas air di area tanam masih cukup baik untuk tanaman. pH air untuk rumah Ponik berkisar antara 5-5,5. Meskipun sangat di ambang batas, Ponik cukup lega. Hehe…!
Ehm, kamu bingung, ya…? Apa hubungan pH air dengan hidroponik? Tentu saja ada. Sistem hidroponik ‘kan tergantung dengan air sehingga memang kualitas airlah yang diutamakan harus baik. Nah! Salah satu ciri kualitas air yang baik itu dapat dinilai dari ukuran pH. Karenanya, sangat penting mengukur dan mengetahui pH air sebelum memulai semua kegiatan tanam-menanam dengan pendekatan hidroponik.
Kamu tahu, ‘kan, pH itu apa? Sederhananya, pH itu adalah derajat keasaman. Rasio pH berkisar antara 0 – 14. Angka 7 dianggap sebagai pH netral, sedangkan di bawah 7 disebut sebagai pH rendah yang bersifat asam dan di atas 7 disebut sebagai pH tinggi yang bersifat basa. Angka pH ini akan memberitahu kita apakah pupuk yang diberikan akan larut dalam air dan bisa diserap oleh tanaman. Angka pH yang baik untuk tanaman itu berkisar antara 5 – 6,5. Jadi, kalau pH air terlalu rendah atau terlalu tinggi dari ukuran standar, itu akan mengakibatkan tanaman kekurangan hara. Mengapa? Karena pH yang teralu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya endapan unsur hara di dalam larutan nutrisi sehingga daya serap tanaman terhadap hara akan berkurang, yang pada akhirnya, tanaman akan kekurangan makanan. Jadi, ya gitu deh, kenapa pH air termasuk hal yang penting di duniaku, sistem hidroponik!
Oke! Masalah pH udah clear. Pembangunan rumah pun dilanjutkan. Minggu kedua di bulan April, proses pembangunan rumah masuk ke tahap penegakan pondasi rumah. Saat itu, Ponik juga menemukan dilema yang lain: bagaimana caranya mengatur sirkulasi udara Rumah Ponik, tetapi tetap dapat mencegah serangan hama?
Suhu di Pekanbaru cukup tinggi. Di siang hari, suhu kota ini berkisar antara 33° – 35° C. Bayangkan jika dinding dan atap Rumah Ponik di tutup semua! Yang terjadi, teman-teman Ponik (sayuran yang ditanam) bisa kegerahan, lalu layu dan tidak bisa tumbuh dengan baik. Sementara, jika dindingnya tidak ditutup, hama di sekitar bangunan Rumah Ponik, yang bukan hanya sekedar hama serangga yang mungil-mungil, tetapi juga kucing garong yang iseng dan tikus yang menyebalkan, akan menghantui para tanaman. Dinding Rumah Ponik, yang niat awalnya akan dibuat plong, kemudian diputuskan untuk diberi kawat nyamuk saja. Hal itu untuk mengantisipasi terperangkapnya udara panas. Dengan strategi kawat nyamuk ini, Ponik berharap si kucing dan si tikus gak akan merajalela di kebun. Sementara itu, kawat nyamuk masih memungkinkan udara keluar-masuk dengan bebas karena kawat yang digunakan juga ada lubang-lubang kecilnya. Yeay…!!! Masalah sirkulasi udara dan hama, untuk sementara ini, bisa diatasi. Hehe…!
Cerita lain yang gak kalah seru di minggu itu, yakni ketika aku dan tim Sayurankita memasang plastik UV untuk atap Rumah Ponik. Membangun Rumah Ponik ini, ternyata, merupakan pengalaman baru bagi para tukang langganan Papi. Jadi, mereka sempat kebingungan juga bagaimana cara memasangnya. Bayangkan! Bagaimana caranya memasang plastik ke besi lurus sebagai penyangganya…?
Demi hasil yang maksimal, Kak Ipeh (pendiri Sayurankita) dan Papi (ayahnya) pergi mengunjungi dua rumah hidroponik yang sudah lebih dulu ada di Pekanbaru. Mereka ke sana untuk mencari referensi. Rumah hidroponik yang aku maksud itu, yang satu berlokasi di Jalan Jendral, dikelola oleh Pekanbaru Green Farm (PkuGf), dan yang lainnya berlokasi di Jalan Paus, dikelola oleh Taman Hidroponik.



Ponik salut dengan Papi. Otaknya masih top markotop. Hanya dengan melihat dan diskusi dengan si empunya kedua rumah hidroponik tersebut, Papi memiliki ide terkait cara memasang atap plastik UV buat Rumah Ponik. Menurut si empu PkuGF, untuk merekatkan plastik ke tiang atap, kita bisa menggunakan semacam klip penjepit. Tapi, harga setiap klip penjepit lumayan mahal, Rp 10.000,- per biji. Untuk Rumah Ponik, kira-kira dibutuhkan sekitar 18 hingga 20 klip. Wah, bisa tekor, dong?! Untuk menyiasati itu, Papi memutuskan untuk membuat klip penjepit sendiri yang bahannya berasal dari pipa paralon bekas. Dan… voilà!!! Kini, plastik UV itu sudah terpasang dengan mantap sebagai atap Rumah Ponik.
Pada minggu kedua, Rumah Ponik sudah selesai. Yihaaa..!!! Tim Sayurankita pun melanjutkan pekerajaan dengan membuat meja-meja untuk menjadi bidang tanaman dan tempat instalasi tanaman hidroponik. Cerita tentang tahap ini juga tak kalah seru untuk dibagikan. Hihihi…!

Selain panas, Pekanbaru juga terkenal dengan “hemat” listrik. He-em! Listrik di Pekanbaru sering kali padam secara tiba-tiba dan jadwalnya terkesan seperti sesuka hati para pekerja PLN saja. “Demi penghematan,” katanya. Bisa jadi sejam, dua jam, tiga jam, delapan jam, atau bahkan seharian!!! Padamnya listrik tentu akan memengaruhi sistem hidroponik yang akan dilakukan. Sementara, di rumah baru ini, Ponik menggunakan sistem NFT (nutrient film technique) yang selalu memastikan adanya aliran tipis dari larutan hara yang menyentuh akar tanaman. Untuk mengalirkan air ini, Ponik membutuhkan pompa dan listrik. Apa jadinya, coba, kalau listrik padam berjam-jam, hampir setiap hari…? Ya! Air tidak bisa mengalir. Itu artinya para tanaman sayur bisa kehausan karena kehabisan larutan nutrisi.
Jadi, untuk mengatasi itu semua, Papi memanfaatkan prinsip gravitasi: air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Salut!
Maksudnya begini: penampungan larutan nutrisi dibuat menjadi dua bagian, sebut saja ember outflow dan ember inflow. Pada bagian outflow (aliran ke luar) itu, larutan yang sudah mengalir melewati tanaman akan ditampung. Sedangkan bagian inflow (aliran ke dalam) berperan sebagai stasiun awal untuk mengalirkan atau menyebar larutan hara ke talang-talang yang berisi tanaman. Nah, stasiun inflow tersebut diletakkan di bagian atas, kira-kira 50 cm di atas talang, sedangkan stasiun outflow diletakkan di bawah talang. Pada ember inflow, dipasang keran-keran kecil sebagai pengatur aliran air (yakni, untuk mengatur besar/kecil volume air yang bergerak keluar menuju talang). Kalau ada talang yang kosong—gak ada tanaman—maka kerannya akan ditutup untuk mencegah aliran larutan nutrisi. Lah terus, dari ember outflow ke ember inflow, gimana caranya supaya larutan bisa mengalir…? Karena letak ember inflow itu 1.5 meter di atas permukaan tanah, ember-ember itu masih bisa dijangkau oleh tangan. Ini demi mengantisipasi jikalau listrik mati. Tim Sayurankita cukup menggayung larutan yang sudah tertampung di stasiun outflow menggunakan gayung, lalu dipindahkan ke bagian atas (ke ember inflow). Kalau listrik tidak padam, ya, tinggal pakai pompa aja…! Simpel, ‘kan…?!
Di minggu ketiga, instalasi pun mulai dipasang. Teman-teman baru Ponik yang sebelumnya masih berupa bibit pun mulai tumbuh. Yeaayyy..!!! Bahagia itu adalah bisa melihat teman-teman Ponik tumbuh dengan sehat. Hehe…!

Tapi, cerita belum selesai. Masih ada perjuangan lain yang harus diselesaikan oleh Kak Ipeh dan Papi: menemukan penutup talang untuk menyangga agar bibit tanaman tidak terendam air. Kata Kak Ipeh, mencari sterofoam di Pekanbaru gak segampang mencari di daerah kampusnya. Ada sih yang jual, tapi stoknya habis. Jadi, Ponik harus menunggu dulu selama beberap hari. “Coba ganti dengan yang lain,” kata Papi, sempat memberi saran. “Pakai tripleks atau bahan kanopi yang biasa dipakai buat atap garasi, mungkin…?” Tapi, tetap saja ada kekurangannya. Triplek terbuat dari bahan yang bisa lapuk jika terkena percikan-percikan air. Harganya juga di luar kemampuan saku tim Sayurankita. Sementara itu, bahan kanopi tidak bisa dibeli meteran, harus beli segulung. Padahal, Ponik tidak membutuhkan terlalu banyak. Jadi galau, ‘kan…?
Jadi, sementara ini, sterefoam memang lebih pas untuk digunakan sebagai penutup talang air sekaligus penyangga gelas-gelas bibit. Selain harganya murah, sterefoam juga terbuat dari bahan yang ringan dan tahan lama (bahkan sulit untuk terurai oleh tanah). Beberapa orang mungkin menghindari penggunaan sterefoam karena adanya kritik bahwa benda ini turut berkontribusi bagi kerusakan kesehatan dan lingkungan—meskipun, belakangan sudah ditemukan jenis sterefoam yang terbuat dari bahan yang ramah lingkungan. Namun, dalam konteks tertentu, penggunaan sterefoam tentu tidak masalah jika dalam jumlah yang wajar. Sejauh tidak berlebihan, pemanfaatan sterefoam secara tepat guna, menurut Kak Ipeh (berdasarkan hasil diskusinya dengan Zikri, adiknya yang kini tinggal di Jakarta sebagai peneliti sosial) adalah sah-sah saja. Pertimbangan inilah yang membuat tim Sayurankita tidak ragu menggunakan sterefoam—semoga di masa depan kami berhasil menemukan benda pengganti yang lebih tepat dan baik.
Seminggu menunggu, sterofoam pun berhasil didapatkan. Akan tetapi ukurannya kecil, cuma 40 x 60 cm, sedangkan panjang talang 4 m. Jadi…? Ya, sudah, sambung-menyambung saja! Dengan sedikit kreativitas dadakan, taraaa…!!! Akhirnya, jadi juga. Teman-teman Ponik pun dapat dipindahtanamkan pada minggu berikutnya.
Ringkasnya, Ponik gambarkan timeline kerja Kak Ipeh, Ade, dan Papi, selama sebulan, dalam membangun Rumah Ponik. Apa saja, sih, yang mereka lakukan untuk mewujudkan Rumah Ponik…? Cek, yuk, mari cek tabel di bawah…!






Ya, kira-kira begitulah pekerjaan yang kami lakukan untuk mendirikan Rumah Ponik yang dikelola oleh Sayurankita! Minggu-minggu berikutnya, aku, Kak Ipeh, Ade, dan Papi pasti akan disibukkan dengan kegiatan-kegiatan mengolah tanaman yang sudah mulai berkecambah. Ini pasti seru sekali!
Nantikan cerita Ponik selanjutnya, ya! Ponik akan kabarkan perkembangan teman-teman Ponik yang sedang tumbuh dengan ceria.
Salam,
Si Ponik
Catatan Kaki
[1] Menurut situs web Encyclopædia Britannica Online, pH meter adalah alat elektronik yang digunakan untuk mengukur aktivitas hidrogen-ion (keasaman atau alkalinitas) dalam larutan. Pada dasarnya, pH meter terdiri dari voltmeter yang melekat pada elektroda pH-responsif dan sebuah referensi (sebangun) elektroda. Diakses dari http://www.britannica.com/technology/pH-meter, 4 Mei, 2016.
Penyunting : Manshur Zikri
Beli plastik uv untuk daerah pekanbaru dimana?
LikeLike
Halo, Hidayat!
Mohon maaf atas respon kami yang terlambat.
Di Pekanbaru, bisa beli plastik UV di PKU Greenfarm, di jalan Jendral Ujung, sebelum simpang Soekarno Hatta. Bisa juga cek ke ignya, @pkugreenfarm.
Salam Pertanian! 🙂
LikeLike