Pengalaman di Bangsal Menggawe 2017 (Bag. III, Habis).

Saya pribadi hari itu, masih tanggal 1 April 2017, memang sangat penasaran dengan proyek seni “Warung Dongeng” karya Nia Agustina bersama warga dari tiga dusun (Tebango, Karang Pangsor, dan Karang Kauhan). Ketika mendengar warung, bayangan saya langsung penuh dengan barang dagangan dan interaksi jual-beli antara pedagang dan pembeli. Pertanyaan saya berlanjut, dongeng sejenis apa yang bisa diperjualbelikan? Tidak selesai di situ, saya khawatir dan bertanya-tanya, “Memangnya, siapa yang mau beli dongeng?” Karenanya, tingkat penasaran saya terhadap warung dongeng ini tidak bisa dibendung lagi.

Saat tiba di lapak warung dongeng, yang berlokasi di dermaga Pelabuhan Bangsal—di titik lokasi yang menjadi tempat para pelancong menaiki boat menuju Tiga Gili atau Bali—saya melihat ada banyak anak yang sedang mengantri untuk membeli dongeng. Saya semakin penasaran dengan warung dongeng ini. Setelah memperhatikan lebih jauh, ternyata salah satu komunitas yang berkolaborasi dengan Mbak Nia adalah Komunitas Kearifan Lokal Tebango (K2LT). Warung Dongeng ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di Pemenang untuk meningkatkan kesadaran terhadap sejarah dan mengabadikan narasi tentang keberagaman, agar tidak hilang ditelan zaman.

Poster acara “Warung Dongeng”. (Poster: arsip Pasirputih)

Melihat keseruan jual-beli dongeng ini, saya juga tidak mau ketinggalan. Uniknya, dongeng yang kita beli hanya bermodal telinga. Hm…, bukan berarti kita membarter telinga dengan dongeng, tapi kita hanya butuh menjadi pendengar yang baik di hadapan si pendongeng. Gimana saya gak mupeng?! Hanya bermodal menjadi pendengar yang baik, kita bisa menyimak dongeng tentang sejarah Kecamatan Pemenang plus cemilan sore yang enak. Jadi, tak ada alasan bagi saya untuk tidak ikut serta mengantri, membeli dongeng.

Lokasi “Warung Dongeng” di dermaga Pelabuhan Bangsal. (Foto: Afifah Farida)
Otty Widasari (perempuan, baju hitam) dan Raenaldi (laki-laki berkacamata, baju cokelat), keduanya masing-masing dari Forum Lenteng dan Komunitas Gubuak Kopi, ikut membeli dongeng di Warung Dongeng. (Foto: arsip Pasirputih)
Suasana warga menikmati Warung Dongeng. (Foto: Ayu Novitasari)

Karya Mbak Nia dan pemuda-pemuda K2LT ini jelas sangat penting. Mereka sedang berusaha untuk menjaga sejarah yang ada di Pemenang, versi warga masyarakat Pemenang, untuk masa depan. Tidak dengan kaku, melainkan dikemas dengan sangat menarik, bahkan berwibawa. Nyatanya, tidak hanya saya yang antusias dengan Warung Dongeng ini, tapi para pengunjung pelabuhan di sore hari itu juga banyak yang penasaran. Saya menyaksikan sendiri bagaimana warung dongeng mereka penuh antrian hingga matahari kembali ke peraduan. Pada akhirnya, lapak Warung Dongeng diharuskan tutup mengingat penerangan yang terbatas pada malam hari.

 

Perjalanan saya menikmati karya para seniman dalam rangakain Bangsal Menggawe 2017 belum selesai. Masih ada satu karya lagi yang berhasil menggiring saya ke kantor Desa Pemenang Barat, yakni monolog berjudul Inaq, karya kolaborasi seniman teater Irawita dengan salah seorang warga, Martini Supiana.

Sejujurnya, kondisi malam itu membuat saya khawatir. Acara akan segera dimulai sementara hujan justru turun malu-malu, seolah ingin ikut menyaksikan teater monolog itu. Untungnya, kekhawatiran saya tidak berlarut-larut karena penonton datang dengan jauh lebih berani dari si hujan. Satu per satu, bapak-ibu, anak-anak, muda-mudi, datang dan mulai memenuhi ruangan kantor desa. Seketika ruangan penuh dengan gerombolan manusia. Beberapa orang mengambil posisi di luar ruangan, mengintip ke dalam dari balik jendela. Meskipun melihat dari sela-sela jendela, saya perhatikan, itu tidak mengurangi konsentrasi mereka untuk mengikuti alur pertunjukan monolog Inaq.

Poster acara pertunjukan monolog “Inaq”. (Poster: arsip Pasirputih)

Hasil refleksi dari pendekatan yang dilakukan Mbak Ira, sapaan Irawita, kepada ibu-ibu dusun Karang Pangsor merupakan dasar dari cerita monolog tersebut. Tokoh “Inaq” (berarti ‘Ibu’ dalam Bahasa Indonesia) dalam pertunjukan itu adalah seorang perempuan yang telah memiliki suami dan anak, yang mulai bosan dengan kehidupannya. Keadaan suami yang tidak memiliki kerja tetap, keadaan ekonomi keluarga yang belum kunjung membaik, dan si anak yang mulai banyak kebutuhan. Melalui monolog itu, Mbak Ira mengajak kita untuk melihat sisi lain dari Inaq yang digambarkannya sebagai potret dari isu perempuan, bahwa mungkin saja seorang perempuan tampak sangat lemah di mata orang-rang, tetapi tetap kuat karena rasa sayang kepada anaknya. Gagasan ini terlihat di akhir cerita monolog itu, yakni ketika tokoh Inaq berubah seketika menjadi tegar saat anaknya menangis.

Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)

Saya salut dengan Ana, sapaan Martini Supiana, yang memerankan Inaq. Menurut saya, Ana berhasil mengajak penonton untuk masuk ke dunia Inaq yang penuh rasa tawa, kesal, marah, malu-malu, dan bahagia sampai monolog itu selesai. Saya yakin, ini adalah hasil kerja keras Ana dan Mbak Ira demi memberikan pertunjukan yang terbaik kepada penonton, khususnya kepada ibu-ibu di Karang Pangsor. Penampilan monolog Inaq kemudian ditutup dengan diskusi santai antara pemeran (Ana), penulis naskah (Mba Ira), kurator Bangsal Menggawe (Emji dan Siba), dan penonton, membahas isu perempuan yang diangkat ke dalam pertunjukan monolog itu.

Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)
Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)

Saya sempat berdiskusi dengan Mbak Ira tentang alasannya memilih teater sebagai karyanya selama menjalani program “residensi seniman” di Pemenang. Aku mbak Ira, teater dapat mengurangi stres, terutama bagi ibu-ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga; mereka dapat lebih ekspresif, di samping mendapat hiburan yang positif. Selain itu, teater juga dapat menjadi pendidikan alternatif untuk ibu-ibu dan seluruh masyarakat di sekitarnya tentang permasalahan-permasalah sosial dan budaya yang melingkungi kehidupan perempuan, seperti masalah domestik, misalnya.

Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)
Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)
Pertunjukan monolog “Inaq” di rangkaian Bangsal Menggawe 2017. (Foto: Manshur Zikri)

 

Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 10.00 malam. Diskusi santai juga telah menemukan akhirnya. Terpicu oleh pertunjukan monolg Inaq itu, saya pribadi menyimpulkan bahwa di balik ketegaran para ibu dalam menghadapi persoalan rumah tangga, mereka juga manusia biasa yang juga membutuhkan asupan-asupan atau cara-cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam menyalurkan aspirasinya. Teater, selain sebagai tontonan yang bergizi dan memancing daya kritis, juga bisa berfungsi sebagai sarana penyalur pandangan para ibu. Di situlah esensi pengetahuan yang dicoba untuk dibagikan oleh Mba Ira.

Bagi saya, hari itu adalah hari yang penuh dengan inspirasi dari orang-orang yang luar biasa. Mereka membuat hal sederhana menjadi istimewa dan penuh arti. Yang membuatnya lebih istimewa lagi, adalah karena seniman-seniman di Bangsal Menggawe 2017 tidak bekerja sendiri, dan bukan bekerja hanya untuk diri mereka. Ada masyarakat dusun-dusun di Pemenang yang memiliki peran dan pengaruh yang besar di balik karya-karya keren para seniman itu. Ah, saya mau angkat topi untuk kegiatan ini!

Malam terus beranjak, persentasi karya para seniman selesai, tapi kesibukan di sekretariat Pasirputih semakin terlihat. Esok harinya, 2 April 2017, adalah puncak dari pesta rakyat itu. Teman-teman Pasirputih bersama-sama masyarakat Pemenang, ingin memberikan yang terbaik untuk masyarakat Pemenang sendiri dan orang-orang dari luar daerah yang ingin menyaksikannya. Jelas terasa, mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat Pemenang benar-benar pemenang!

2 April 2017: Penutup Singkat

Saya berpendapat, teman-teman Pasirputih yang menjadi dalang dan penggerak pesta rakyat Bangsal Menggawe ini terbilang nekat luar biasa—Zikri, pegiat media di Forum Lenteng yang berkenan menyunting tulisan ini, belakangan memberikan catatan bahwa aktivitas Pasirputih bukanlah sebuah kenekatan, tetapi merupakan aksi yang dilakukan dengan penuh perhitungan. Tapi bagaimana saya tidak menganggapnya “nekat”?! Dengan beranggotakan beberapa orang saja, mereka dengan percaya diri menggelar pesta rakyat yang cakupannya se-kecamatan Pemenang! Saya salut dengan keyakinan mereka bahwa akan ada banyak orang-orang baik yang akan membantu perhelatan akbar ini. Seperti hari ini, ada saja orang yang berdatangan untuk membantu mereka, termasuk teman-teman Forum Lenteng dari Jakarta, Gubuak Kopi dari Solok, teman-teman seniman dari Mataram, dan tentu saja, masyarakat Pemenang sendiri.

Kesibukan terlihat di sekretariat Pasirputih lebih pagi pada hari itu. Ketika saya tiba, teman-teman sudah mulai mengantri kamar mandi untuk mandi. Hari itu adalah waktunya berpesta! Sebagian lagi, sibuk mengangkat barang-barang ke sana ke mari untuk kelancaran acara di Lapangan Guntur Muda dan di Pelabuhan Bangsal. Pakaian hari itu juga terlihat berbeda. Bukan lagi kaos dan celana pendek, tetapi baju adat Sasak! Para lelaki yang mengenakannya terlihat kece badai, sedangkan perempuan terlihat lebih anggun dan kalem. Saya bersyukur, karena juga diberikan kesempatan untuk menggunakan baju adat Sasak. Hehe!

https://www.instagram.com/p/BSa31mjB7_4/?taken-by=ottyrancajale

Detik-detik untuk berpesta mulai terdengar. Angin seolah tidak mau melewatkannya, ia datang bersama hujan. Hujan! Iya, siang itu Pemenang di selimuti hujan. Pesta rakyat bersama hujan.

Bangsal Menggawe 2017: “Siq-Siq O Bungkuk”. (Foto: Hafiz Rancajale)

 

 

Penyunting : Manshur Zikri

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s