Tanggal 5 April 2017. Hari itu, saya diajak ke Dusun Montong Bae untuk bertemu dengan Bapak Juhaidi, Kepala Dusun (Kadus) Montong Bae. Malam sebelumnya, saya dan teman-teman Pasirputih berdiskusi tentang kegiatan Sayurankita yang saya akui masih belum produktif. Mendengar cerita saya tentang Sayurankita, mereka semua sepakat untuk mengajak saya melihat Dusun Montong Bae, salah satu dusun yang masyarakatnya berdaya di bidang pertanian.[1] Informasi yang saya dapat dari teman-teman Pasirputih tentang dusun Montong Bae adalah warga dusunnya yang suka bertani dan menjadi desa percontohan dalam menggunakan biogas untuk memenuhi kebutuhan gas rumah tangga.[2]

Saya pergi bersama Oka dan Onyong, mengunjungi dusun Montong Bae di Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, pada sore hari. Dusun Montong Bae adalah pemekaran dari dusun Telaga Wareng. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari Onyong, nama “Montong Bae” diambil karena ditemukannya gundukan tanah di sekitar dusun. Dalam bahasa Sasak, pundukan tanah itu disebut dengan montongan sehingga warga dusun sepakat untuk memberi nama dusun ini dengan nama “Montong Bae”.
Sesampainya di rumah Pak Kadus, saya langsung melihat pekarangan yang penuh dengan tanaman sayuran dan obat-obatan. Ternyata, tidak hanya rumah Pak Kadus yang dipenuhi tanaman. Saya melihat beberapa rumah warga di sekeliling rumahnya, juga dipenuhi tanaman, terutama tanaman untuk bumbu dapur. Melihat rumah-rumah yang penuh tanaman, saya sepakat dengan informasi yang disampaikan oleh teman-teman Pasirputih bahwa warga Dusun Montong Bae memang suka bertani.


Kesimpulan saya diperkuat dengan hasil diskusi singkat dengan Pak Kadus dan istrinya yang membuat saya takjub. Di dusun ini, pekarangan rumah masih dimanfaatkan untuk bertani, terlepas mereka juga memiliki kebun tersendiri. Melihat pekarangan rumah penuh tanaman sayur dan obat-obatan itu, saya teringat pada konsep urban farming. Salah satu konsep dari urban farming adalah pemanfaatan lahan pekarangan rumah untuk menanam sayuran, tanaman obat, atau tanaman hias untuk kebutuhan keluarga. Konsep itu konon sudah ada sejak awal abad ke-20 M (kala Perang Dunia I), yang dikenal dengan istilah allotment garden (konsep kebun individu) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.[3] Warga di Dusun Montong Bae mengaplikasikan konsep itu secara nyata. Kata Pak Kadus, “Prinsipnya adalah kebutuhan keluarga terpenuhi dulu, keluarga sehat dulu. Kalau hasilnya masih banyak, baru dibagi atau dijual ke tetangga.” Kesadaran itulah yang membawa warga Dusun Montong Bae untuk bertani di pekarangan rumahnya.
Saat saya bertanya, bagaimana ide awal warga untuk menanam di pekarangan itu tercetus, Pak Kadus menjawab, “Lahan pekarangan, kan masih luas, daripada kosong gak dimanfaatkan, ya, udah, kita coba mulai nanam. Awalnya, kita tanam di pekarangan rumah sendiri dulu.”
“Bibitnya dari sayur yang dibeli di pasar, akarnya gak dibuang, tapi ditanam,” kata Bu Kadus, menambahkan. “Beli cabe, bijinya coba di tanam. Alhamdulillah! Tumbuh dan bisa dipanen. Terus tetangga lihat, sekarang udah pada ikutan nanam. Sudah punya kelompoknya juga, KWTT,” jelasnya. KWTT adalah singkatan dari Kelompok Wanita Tani Teladan.
Menurut Bu Kadus, manfaat menanam di pekarangan sudah mulai dapat dirasakan oleh ibu-ibu, terutama dalam membantu mengurangi biaya dapur. “Iya! Sekarang, kalau mau buat sayur tinggal diambil aja di pekarangan. Kunyit, jahe, cabe, terung juga ada.” Pak Kadus mengiyakan pendapat Bu Kadus itu karena memang alasan itu jugalah yang membuat ibu-ibu warga dusun semangat untuk menanam. Bagi mereka, manfaatnya memang sudah dapat dirasakan secara riil. Selain menanam di pekarangan masing-masing, ibu-ibu KWTT juga memiliki demplot (singkatan dari demonstration plot, disebut juga sebagai ‘kebun percontohan’) bersama yang secara sadar dipelihara bersama.


Saya salut dengan cara yang digunakan oleh Bapak dan Ibu Kadus Montong Bae untuk mengajak warganya bertani. Bapak dan Ibu Kadus terlebih dahulu memberikan contoh nyata agar dapat dilihat sendiri oleh warga sehingga pada akhirnya warga dengan kemauannya sendiri ikut menanam karena sudah menyaksikan contoh dan manfaatnya. Selain itu, warga Dusun Montong Bae juga saling tolong menolong, bekerja sama dan saling percaya dalam melakukan setiap kegiatan yang ada di dusun sehingga setiap warga merasa terlibat pada setiap kegiatan.



Pantas saja, Dusun Montong Bae menjadi dusun percontohan dalam pemanfaatan biogas yang diusung pemerintah. Selain karena warga dusun yang solid, Dusun Montong Bae juga telah melakukan satu kegiatan luar biasa yang berhubungan dengan biogas, yaitu menanam. Karena selain menghasilkan gas dari limbah kotoran dan sampah dapur, biogas juga menghasilkan pupuk organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.


Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil dari diskusi sore itu ialah, dalam melakukan kegiatan yang melibatkan warga, langkah yang penting dilakukan adalah menjadi contoh dan memberikan kepercayaan kepada warga. Sebab, tanpa contoh yang dapat dilihat langsung, biasanya orang akan sulit percaya dengan apa yang sedang kita lakukan. Setelah warga dengan sukarela terlibat dalam kegiatan, langkah selanjutnya adalah memberikan kepercayaan pada warga untuk berkreasi pada kegiatan itu. Angkat topi untuk bapak-bapak, ibu-ibu, dan seluruh warga Dusun Montong Bae!
Catatan Kaki:
[1] Catatan Penyunting: Pasirputih pernah menerbitkan artikel yang bercerita tentang isu ini. Silakan simak tulisan Ahmad Rosidi (7 Januari 2017), berjudul “Masyarakat Berdaya: Menilik Program Warga Dusun Montong Bae”, dan tulisan Etika Lailaturrahman (1 Februari 2017), berjudul “Aktivasi Potensi Lokal”, di situs web Pasirputih. Atas izin teman-teman Pasirputih, beberapa foto dokumentasi yang dimiliki Pasirputih dalam artikel Ahmad Rosidi, digunakan kembali dalam tulisan ini untuk melengkapi ilustrasi.
[2] Biogas adalah gas yang dihasilkan dari kotoran hewan atau manusia dan limbah rumah tangga.
[3] Phyl (n.d.), “History of Allotments”. Diakses dari The Allotment Gardener, tanggal 4 Mei 2017 pukul 00:20 WIB.
Penyunting : Manshur Zikri