Akhir pekan lalu, Sayurankita kembali menyelenggarakan acara diskusi. Diskusi Sayurankita kali itu merupakan bentuk keikutsertaan Sayurankita dalam penyelenggaraan program “Video Out”, sebuah fringe event dari OK. Video – Indonesia Media Arts Festival yang pada tahun ini mengangkat tema “Pangan”; festival dua tahunan itu sendiri memilih judul “OK. PANGAN” untuk keseluruhan acaranya di tahun 2017. Fringe event “Video Out” diadakan dalam bentuk penayangan film-film atau video-video dokumenter secara serentak di beberapa kota dari tanggal 11 sampai 13 Agustus 2017 (berdasarkan publikasi awal yang diterbitkan festival itu—tetapi mengalami modifikasi waktu pada realisasinya kemudian). Film-film di dalam program “Video Out” ini dikurasi oleh Manshur Zikri, seorang kritikus dan kurator film yang kini tinggal di Jakarta, dengan judul Mari Mengkritisi Pangan Lewat Estetika Gambar Bergerak. OK. Video berkolaborasi dengan komunitas/organisasi lokal di setiap kota yang terlibat (totalnya, ada 15 organisasi dari 11 kota). Pada kesempatan tersebut, untuk kota Pekanbaru, OK. Video berkolaborasi dengan Sayurankita.
Sayurankita mengemas program “Video Out” dalam bentuk kegiatan nobar alias nonton bareng. Namun, karena ada sedikit kendala teknis, Sayurankita baru bisa menyelenggarakannya pada Sabtu sore, 12 Agustus 2017 lalu.
Masing-masing komunitas/organisasi lokal dari setiap kota yang berpartisipasi dalam program ini agaknya punya cara tersendiri dalam menyajikan program tersebut. Begitu pula di Sayurankita. Ada serangkaian acara lain yang kami suguhkan selain nobar dan diskusi film, yaitu panen hasil kebun, masak-masak, dan makan bersama. Sebab, sayang saja rasanya bila sudah datang ke Rumah Sayurankita tapi tidak “mengacak-acak” Rumah Ponik. Maka, pada Sabtu sore itu, rangkaian acara nobar dan diskusi dilengkapi dengan kegiatan memanen, memasak, dan makan bersama, diikuti oleh para pegiat Sayurankita dan teman-teman lainnya yang hadir. Sementara pada hari Minggunya, Sayurankita fokus pada nobar dan diskuai film saja.

Persiapan Sabtu sore itu sederhana saja. Saya, Afifah, dan Ibed menyiapkan kebutuhan memanen dan memasak. Sebelum para penonton hadir, semua perlengkapan sudah siap. Selanjutnya, tepat pukul pukul 16.00 WIB kegiatan memanen dimulai, tentunya setelah orang-orang berdatangan. Ada sayur kaylan, pepaya jepang, dan gingseng jawa yang sudah siap untuk dipanen. Teman-teman yang menghadiri kegaitan itu terlihat antusias saat proses pemanenan dilakukan, terlebih lagi saat mendengar penjelasan tentang tanaman-tanaman tersebut. Suasana sore itu jadi terasa seperti field trip saja.

Setelah memanen, Afifah sebagai asisten koki sore itu—koki utamanya adalah Mba Mur, si penjual bakso langganan kami, dengan instruktur masaknya adalah ibu kami sendiri—membagi tugas kepada teman-teman. Ada yang kebagian memetik-metik daun sayur pepaya jepang dan kaylan dari tangkainya, ada yang bertugas mencuci sayur, ada juga yang menggoreng kerupuk, merebus sayur, dan lain sebagainya. Tak lupa, masing-masing dari kami bernarsis ria sebelum menyelesaikan tugas-tugas itu.
Sayangnya, cuaca sedikit iseng dan tidak bersahabat sore itu. Mendung perlahan menghampiri, lalu tak lama hujan deras mengguyur Pekanbaru. Lokasi masak-masak yang awalnya berada di pinggir halaman Rumah Sayurankita dan tak beratap, harus segera dipindahkan ke bekas garasi yang kini menjadi ruang serba guna. Karpet yang sudah digelar kembali digulung dan ditumpuk di sudut garasi. Meja dan kursi pun tak lupa diselamatkan.
Menjelang Magrib, satu per satu masakan sudah tersajikan. Karena hujan masih awet dengan irama syahdunya, terpaksalah kegiatan makan bersama malam itu diselenggarakan indoor. Ibed pun mendapat tugas membersihkan ruang diskusi Sayurankita; ia bertugas untuk menyapu lantai garasi dan membentangkan karpet. Tak lama kemudian, setelah ruangan siap untuk ditempati, saya, dibantu Ibed, Ipam, dan teman-teman lainnya, memindahkan satu per satu piring yang sudah terisi makanan ke ruang diskusi tersebut sementara Afifah menyelesaikan urusan dapur yang masih tersisa.
Meskipun makan bersama diselenggarakan indoor, konsep yang diterapkan tetap konsep outdoor yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Semua masakan dituang di atas bentangan daun pisang, lengkap dengan nasi, sayuran, lauk-pauk, kerupuk, dan sambal. Tak lupa, teh mint seteko penuh siap menemani makan bersama malam itu. Selesai Magrib, semua peserta duduk melingkar mengelilingi bentangan daun pisang tersebut. Acara makan bersama pun dimulai. Dengan lahapnya, kami memakan apa yang sudah kami panen sendiri. Meski belum seutuhnya sesuai dengan kalimat Max Havelar—karena kami tidak menanamnya sendiri—masakan malam itu tetap terasa sangat nikmat dan mengenyangkan. Sekejap saja, gundukan makanan itu lenyap tak bersisa.
Makan bersama usai. Tempat makan sudah dibersihkan. Kami pun merangkak ke acara selanjutnya. Afifah mempersiapkan film yang akan kami tonton, kemudian menjelaskan sedikit maksud dari acara nobar malam itu, serta film apa sebenarnya yang akan kami tonton dan diskusikan.
Acara nobar ini, tak lain dan tak bukan adalah upaya penyebarluasan informasi tentang dunia pertanian. Bentuk partisipasi Sayurankita dalam program “Video Out” milik OK. PANGAN-nya OK. Video – Indonesia Media Arts Festival di tahun 2017 ini, juga bertujuan untuk menegaskan esensi kehadiran Sayurankita di tengah masyarakat. Sudah seharusnya, Sayurankita, yang bergerak di bidang kebudayaan pertanian, mewadahi masyarakat yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pertanian, serta menjadi pusat diskusi dan menggali pengetahuan pertanian dan lintas disiplin yang memengaruhinya. Meski visi tersebut belum seutuhnya tercapai—karena sangat disayangkan warga yang tinggal di sekitar tempat rumah Sayurankita berada tidak ada yang hadir—Sayurakita tetap berusaha mengadakan ruang-ruang diskusi terarah seperti ini seseirng mungkin. Menjadikan aktivitas diskusi terarah ini sebagai kebiasaan positif yang diharapkan mampu menjadi jendela pengetahuan serta menumbuhkan kepedulian kita terhadap dunia pertanian.
Film yang akan ditayangkan malam itu berupa film dokudrama yang dibuat oleh Studio Audio Visual Puskat, Yogyakarta, pada kisaran tahun 1990-an. Film ini merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu yang dicanangkan pemerintah pada masa itu. Ada lima judul film dengan durasi 18-23 menit. Namun, karena keterbatasan waktu, Afifah hanya menayangkan tiga film, yang dinilai mewakili secara keseluruhan isu yang diangkat dalam dokudrama tersebut. Pihak dari OK. Video sendiri tidak mempermasalahkan keputusan itu, karena dalam kolaborasi ini, masing-masing komunitas lokal penyelenggara acara diperkenankan mengambil keputusan kuratorial sesuai dengan kebutuhan yang ada di lokasi. Oleh karena itu, ketiga judul film yang akhirnya ditayangkan adalah (1) Bagaimana Produksi Aman Lingkungan Nyaman?; (2) Dalam Bayang-bayang Racun; dan (3) Peluang Untuk Semakin Berkembang.
Sekitar pukul setengah delapan malam, tiga film itu pun diputar. Teman-teman menonton dengan serius. Ada waktu-waktu tertentu penonton berkomentar pelan, menanggapi film, sambil terus menonton.
Film pertama bercerita tentang kegelisahan para petani terhadap penggunaan obat hama. Dampak yang dihasilkan dari penggunaan obat hama tersebut adalah rusaknya lingkungan, seperti matinya itik, ikan, dan hewan-hewan lain yang berada di lingkungan sawah, serta merusak kualitas air. Hal ini menimbulkan konflik antara petani dan warga sekitar, seperti pengembala itik atau peternak ikan. Namun, tanpa penggunaan obat hama, para petani ini khawatir padi mereka tidak aman.
Munculnya konflik tersebut, kemudian dijawab dalam film kedua. Bahwa, penggunaan obat hama yang berlebihanlah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Tak hanya meracuni lingkungan, penggunaan obat hama yang tak sesuai prosedur juga akan meracuni petaninya sendiri. Ada beberapa kasus yang ditampilkan dalam film tersebut. Petani yang sehari-harinya menyemprot tanaman dengan obat hama merasakan efek buruk dari “racun” tersebut, seperti merasa pusing dan mual sesaat setelah melakukan penyemprotan. Untuk kasus orang yang sudah terpapar obat hama dalam kurun waktu yang cukup lama, mereka akan menderita penyakit kulit, seperti gatal-gatal, kulit terbakar, terkelupas, dan lain sebagainya. Tingat terparah yang akan dialami petani, antara lain gejala strok.
Lalu, apa yang harus dilakukan para petani tersebut agar mereka aman dari dampak buruk obat hama dan agar tanaman bisa aman dari hama? Pertanyaan ini dijawab dalam film terakhir yang kami tonton malam itu. Film tersebut seperti menyuguhkan penyelesaian masalah sekaligus menjadi alat sosialisasi kepada masyarakat tani. Petani diarahkan untuk tidak lagi bergantung pada obat hama yang terlalu berbahaya, melainkan lebih fokus pada pemantauan tanaman mereka sendiri secara berkala. Film tersebut mensosialisasikan program berkelanjutan berupa “Kelas Lapangan” yang dibentuk dan dikelola oleh kaum tani sendiri. Dari Kelas Lapangan ini, petani diajarkan (dan saling belajar) bagaimana cara melakukan penelitian kecil-kecilan terhadap perlakuan tanaman sawah mereka. Selain itu, mereka juga belajar tentang pemantauan secara berkala terhadap tanaman untuk mengamati ada-tidaknya hama pada tanaman, serta berapa banyak hama yang ada pada tanaman. Kelas Lapangan juga dikelola untuk bisa memberikan informasi mengenai batas-batas penggunaan alat-alat dan materi-materi untuk pertanian, terutama prosedur standar penggunaan obat hama. Dari penelitian kecil-kecilan tersebut, mereka diharapkan mampu mengambil keputusan sendiri dalam hal penggunaan obat hama, sesuai prosedur. Diharapkan juga, petani bersedia untuk lebih disiplin mematuhi prosedur penggunaan obat hama yang ada.
Kelas Lapangan tidak hanya sebagai wadah belajar, tetapi juga wadah mengambangkan diri bagi para petani. Petani bebas mengekspresikan diri dalam kegiatan-kegiatan lain, seperti penyelenggaraan pertunjukan seni dan lain sebagainya, dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar atas masalah-masalah pertanian. Dari kelas lapangan ini juga, petani diharapkan bisa memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan pemikiran kritisnya dengan berani terhadap program-program pemerintah terkait pertanian.
Setelah kami selesai menonton ketiga film tersebut, Afifah kemudian mengarahkan kami pada sesi diskusi. Antusias teman-teman rupanya tidak tertinggal di kebun Sayurankita. Di ruangan tempat kami menonton pun, mereka tetap antusias menyampaikan pemikiran masing-masing.
Yang menjadi fokus perhatian teman-teman yang menonton saat itu ternyata berkembang dari isu yang ditayangkan. Mereka membandingkan situasi pertanian dalam ketiga film dengan keadaan nyata di provinsi Riau, khususnya di kota Pekanbaru. Di Riau, sangat jarang sekali ditemukan sawah—apalagi di Pekanbaru, sama sekali tidak ada. Namun demikian, permasalah pertanian tetap menyelimuti Riau, terutama yang terkait dengan pengrusakan lingkungan oleh bahan kimia. Di Riau memang tak ada sawah, tapi kebun sawit berserakan di mana-mana. Inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masalah lingkungan dan kesehatan yang muncul di Riau.

Teman-teman peserta diskusi menyimpulkan bahwa bertani sawit itu bisa saja sama membahayakannya dengan bertani sawah. Sebab, sawit juga membutuhkan obat hama dan pupuk yang begitu banyak demi produksi maksimal. Dampak yang dirasakan masyarakat Riau, mungkin memang tak terlihat secara langsung, seperti kasus dalam film dokudrama tersebut; penyakit kulit atau kematian hewan ternak. Akan tetapi, terhadap lingkungan, dampak buruknya sangat besar, seperti sumber air yang cepat kering, air tanah menjadi keruh dan rusak, tanah menjadi tandus, bahkan merambah ke masalah pendangkalan sungai. Simpulan ini, tentu saja, bukan dalam arti menyalahkan tindakan bertani, tetapi lebih berupa kritik terhadap praktik-praktik pertanian yang tidak mengindahkan keseimbangan alam.
Muncul lagi satu pemikiran dari salah satu peserta diskusi; ia menyatakan bahwa permasalahan sawit ini bisa jadi sebuah “konspirasi”. Persengkokolan oleh ‘ntah siapa yang ingin mengubah budaya Indonesia. Hal ini terkait dengan perubahan objek tanam pertanian di Indonesia secara perlahan, salah satunya seperti yang terjadi di Riau. Tanaman-tanaman herbal, rempah-rempah, dan umbi-umbian pada dasarnya bisa tumbuh di atas tanah Negeri Melayu. Akan tetapi, menurut orang yang berpendapat itu, sepertinya ada pihak yang mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat sehingga tidak sedikit orang memilih untuk bertani—atau berkebun—sawit. Tujuannya tentu terkait dengan masalah ekonomi. Sawit diyakini memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dari tanaman lainnya. Padahal, jika kita lihat lebih dekat dan secara mendalam, “nilai” tanaman herbal, rempah-rempah, sayuran liar, dan umbi-umbian bisa menjadi lebih tinggi karena manfaatnya yang dapat mengisi perut masyarakat tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Sayangnya, orang yang tak berduit tapi memiliki tanaman-tanaman tersebut di kebunnya yang tak begitu besar tetap dianggap “orang tidak mampu”, dibandingkan orang yang tak punya apa-apa selain sawit. Inilah yang dimaksud olehnya dengan “sebuah konspirasi”: adanya iming-iming tentang ketahanan ekonomi di tengah masyarakat, padahal tersimpan tujuan lain di baliknya yang hanya memberikan keuntungan lebih besar bagi beberapa pihak saja.
Afifah mencoba mengaitkan pendapat tentang “konspirasi sawit” yang dikemukakan oleh salah satu penonton itu dengan program pemerintah terkait penggunaan obat hama. Menurut Afifah, isu ini juga bisa dikatakan sebuah “konspirasi”, dalam arti bahwa hal itu cuma menguntungkan pihak-pihak tertentu. Program “gagal” pemerintah ini, seperti sebuah pencucian otak, di mana petani “dipaksa” untuk menggunakan obat hama dan pupuk kimia demi memperoleh hasil produksi yang maksimal—sama kasusnya dengan “pemaksaan” yang terjadi pada petani sawit. Masalah serupa juga terlihat pada isu revolusi hijau. Seluruh masyarakat Indonesia diwajibkan untuk mengonsumsi beras karena dinilai lebih “sehat” dan “mengenyangkan”, padahal setiap daerah punya makanan pokoknya sendiri, yang sesuai dengan kondisi geografis, kebiasaan hidup, dan budayanya masing-masing.
“Sebuah konspirasi” melingkupi kehidupan masyarakat kita, disadari atau tidak. Hal inilah yang mesti kita lawan. Menurut Afifah, sudah saatnya kita kembalikan kebudayaan-kebudayaan yang “sengaja dihilangkan” ini, termasuk di dalamnya kebudayaan pertanian. Perlu digaris bawahi, pertanian itu sendiri tidak hanya lingkungan sawah dan padi, serta tidak harus berupa usaha besar. Aktivitas bercocok tanam di pekarangan rumah sendiri juga sudah termasuk budaya pertanian. Juga aktivitas pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri, terutama di lingkungan keluarga sendiri—yang kemudian disebut Afifah sebagai “swasembada pangan yang sesungguhnya”.
Dengan mangaitkan hasil diskusi tersebut dengan apa yang kami tonton malam itu, saya lalu menarik kesimpulan bahwa hal-hal “konvensional” atau “tradisional” adalah hal-hal yang tepat untuk dilakukan dan dilestarikan. Hanya saja, dibutuhkan pengembangan dan inovasi agar mencapai hasil yang maksimal. Hal itu sebagaimana yang dinarasikan oleh film yang terakhir malam itu, bahwa petani diajak untuk mengamati perkembangan tanamannya setiap hari dan mengontrol keberadaan hama, serta mengurangi penggunaan obat hama dan pupuk kimia. Cara ini sebenarnya adalah cara konvensional, sudah dilakukan oleh petani-petani sejak zaman dahulu. Begitu pula dengan kebiasaan bercocok tanam di lingkungan keluarga: menanam apa yang bisa kita makan secara langsung, seperti sayur, buah, rempah, dan umbi-umbian—yang kesemuanya mampu tumbuh di seluruh tanah di Indonesia sejak dulu—juga termasuk “hal-hal konvensional yang sudah tepat untuk dilakukan dan dilestarikan” tersebut. ***

***
Acara nobar dan diskusi pada Minggu malam, 13 Agustus 2017, tidak seramai hari sebulumnya. Akan tetapi, teman-teman yang hadir tetap antusias dengan tontonan yang disuguhkan dan diskusi yang dilakukan. Kegiatan nobar dimulai pukul 19.30 WIB, dihadiri—tanpa sengaja—oleh alumni SMA N 8 Pekanbaru. Teman-teman alumni ini memiliki latar belakang pendidikan yang beragam, seperti fotografi, farmasi, kedokteran, ilmu kimia, sastra (saya), dan pertanian (Afifah).
Tontonan malam itu adalah film dokumenter karya beberapa komunitas dan inisiatif warga. Di antaranya: empat judul dari yang diproduksi oleh Pasirputih, yaitu proyek seri video yang dibuat oleh Hamdani, bertajuk “30 Hari Pemenang Dalam Bingkai Kamera”; tiga judul dari proyek yang dikerjakan Sarueh, “Rekamkita Project”; dan satu judul dari Majujalanfilms, karya Wahyu Utami Wati dan Ishak Iskandar, Welu de Fasli. Kedelapan film tersebut mengangkat isu pangan sebagai proyek dokumenternya. Isu pangan yang diangkat terkait dengan pengolahan makanan, seperti sate ikan yang menjadi salah satu makanan khas Pemenang, Lombok; pengolahan minyak kelapa; pembuatan opak; penjualan pisang; aktivitas pasar; dan pemisahan kemiri dari cangkangnya.
Hal-hal di atas merupakan hal-hal yang lumrah, yang sebenarnya sudah biasa kita temui dan kita lihat di kehidupan masyaralat. Akan tetapi, kita tidak “menyadari” aktivitas ini, sebelum terabadikan dalam sebuah film dokumenter. Dari sudut pandang dan pengalaman saya pribadi, menonton film-film dokumenter tersebut pada malam itu, tanpa sadar saya jadi turut mengamati, lalu menemukan permasalahan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dari hasil menonton dan diskusi malam itu, muncul sebuah kesimpulan bahwa permasalahan pangan identik dengan kondisi perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari kondisi kehidupan dari pelaku pangan, seperti penjual pisang, pedagang ikan, dan pedagang pasar tradisional lainnya, petani kemiri, penjual opak, maupun penjual sate ikan, merepresentasikan kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, ditemukan fakta bahwa pengolahan pangan tersebut cukup jauh dari standar kebersihan. Mungkin, terkait dengan masalah ekonomi dan tuntutan hidup lainnya, sehingga para pedagang ini tak lagi memikirkan hal-hal demikian. Dari sini, muncul satu pertanyaan yang belum terjawab: “Mengapa?”.
Menjadi PR besar bagi kita untuk, paling tidak, mencari tahu mengapa situasinya “harus” demikian! Mengapa menjadi seperti itu?
Film-film yang dicoba dihadirkan oleh OK. PANGAN-nya OK. Video 2017, saya kira, adalah usaha yang mendorong kita untuk meningkatkan kesadaran atas itu semua. Tapi bukan berarti harus “sadar dahulu, tindakan kemudian”; justru, menurut saya, kesadaran dan tindakan adalah sesuatu yang harus dimiliki dan dilakukan secara bersamaan. Karenanya: menanam, memanen, memasak, menonton sinema, berbincang-bincang, bersama-sama. ***