Bagi saya, Pekanbaru adalah kota seribu ruko (rumah toko—red). Berbeda dengan kota-kota lainnya yang kadang mudah menemukan hamparan hijau, sawah, dan sederet palawija atau jejeran sayuran, di Pekanbaru agak sulit menemukan hal-hal yang berbau “tanah dan tanaman”. Jika pun ada, maka lahan-lahan pertanian itu sudah masuk ke perbatasan kabupaten lain, bukan di Pekanbaru. Sebagai warga yang hidup di Pekanbaru sedari kecil, saya merasa sedikit sedih memang ketika melihat di sepanjang jalanan, yang mendominasi pemandangan adalah bangunan-bangunan.
Karena kondisi kotanya yang tidak memiliki lahan luas untuk tanam-menanam, maka untuk pasokan pangan, terutama sayuran, umumnya dipasok dari luar Pekanbaru, bahkan dari luar provinsi Riau. Biasanya, pasokan sayur itu datang dari Sumatera Barat atau Sumatera Utara. Ternyata, kegelisahan atas pasokan sayuran segar itu tidak cuma menjadi kegelisahan saya, tetapi juga menjadi kegelisahan Bu Ika, salah satu pemilik Pekanbaru Green Farm.
Pekanbaru Green Farm ini adalah farm dan toko peralatan hidroponik yang dibentuk oleh Bu Ika bersama tiga orang lainnya, yaitu Pak Dody (suami Bu Ika) dan dua orang teman Pak Dody, yaitu pasangan suami-istri, Pak Johan dan Ibu LiHui, pada bulan Desember 2014. Pekanbaru Green Farm ini dibentuk sebagai side job dan hobi untuk memenuhi hasrat mengonsumsi sayuran segar. Pasalnya, sayuran yang sering ditemui di pasar tradisional atau supermarket sudah tidak segar karena adanya proses angkutan dari Sumatera Barat atau Sumatera Utara tersebut. Oleh karena itu, Bu Ika mencari alternatif bertani di kota yang penuh dengan ruko ini.
Bu Ika memiliki hobi menanam sejak kecil. Ia pernah menanam dengan teknologi irigasi tetes saat tinggal di Jakarta. Pengalaman itulah yang membawa ia dan suaminya beserta 2 orang teman tersebut membangun Pekanbaru Green Farm yang berfokus pada teknologi hidroponik. Menurut Bu Ika, dengan formasi 4 orang ini, kebun hidoponik milik Pekanbaru Green Farm sudah dapat berjalan dengan baik dan lancar karena mereka sudah memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Di dalam formasi ini, Bu Ika sendiri berperan sebagai petani yang berkaitan dengan tanam-menanam dan konsultasi tentang tanaman; suaminya berperan sebagai instalator yang membangun instalasi-instalasi hidroponik, bahkan juga green house-nya. Peran suami Bu Ika itu ditunjang dengan latar belakangnya yang berasal dari disiplin Teknik Sipil. Sementara itu, Pak Johan dan Ibu LiHui berperan di bidang marketing. Pak Johan mengelola pemasaran untuk skala retail, sedangkan Bu LiHui mengelola skala rumahan.

Dalam pengembangannya, Pekanbaru Green Farm juga membangun toko yang menyediakan alat instalasi, benih, dan pupuk untuk kebutuhan hidroponik. Bu Ika mengatakan bahwa niat awal membuka toko ini hanya sebagai penyediaan stok untuk kebutuhan menanam di kebun sendiri karena, pada saat itu, kebutuhan untuk bahan-bahan produksi masih berasal dari luar Pekanbaru. Seiring dengan berkembangnya kebun dan peminat hidroponik juga semakin banyak, toko mereka pun pada akhirnya berusaha untuk memenuhi dan menyediakan permintaan pasar. Tidak seperti toko-toko pada umunya, di toko Pekanbaru Green Farm ini kita juga dapat berkonsultasi dengan Bu Ika tentang hidroponik, baik tentang benih, cara membuat instalasi, maupun penggunaan pupuknya. Maka, tidak heran jika benih yang disediakan Pekanbaru Green Farm ini terbatas karena Bu Ika hanya menyediakan benih-benih yang cocok untuk ditanam di dataran rendah. Tapi, kita juga dapat menemukan beberapa benih impor atas dasar permintaan konsumen.
Pekanbaru Green Farm juga melakukan eksperimen untuk meracik pupuk sendiri. Untuk persediaan pupuk AB Mix, misalnya, Pekanbaru Green Farm meracik sendiri setelah mendapatkan beberapa kali pelatihan di Jakarta. Pupuk ini diuji sendiri oleh Bu Ika di kebunnya selama setahun sebelum kemudian dipasarkan.
Selain membuat pupuk sendiri, Pekanbaru Green Farm juga membuka kelas belajar hidroponik secara gratis. Kelas ini dibentuk dengan maksud untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang hidroponik, terutama di Pekanbaru. Kelas hidroponik mereka dibuka setiap Sabtu pagi, pukul 10:00. Peserta kelas bisa mendaftar terlebih dahulu melalui Whatsapp atau via DM di Instagram. Bu Ika mengatakan bahwa penyebaran informasi tentang hidroponik ini juga dilakukan melalui media sosial, salah satunya yang utama adalah lewat Instagram. Menurutnya, Instagram sangat membantu dalam menyampaikan informasi karena ditunjang oleh foto-foto yang menarik. Ternyata, tidak hanya informasi yang tersampaikan, aksi penyebaran informasi lewat Instagram ini secara tidak langsung juga dapat membentuk pasar hidroponik itu sendiri karena banyak yang bertanya tentang benih dan bibit untuk menanam secara hidroponik.
Kendala-kendala yang ditemui Bu Ika selama menanam dengan menggunakan teknik hidroponik sering kali terletak pada masalah budidaya karena memang lingkungan di Pekanbaru yang berbeda dari tempat biasanya hidroponik dikembangkan. Oleh karena itu, dalam proses penanaman ini, Bu Ika sangat fokus pada penelitian kecil-kecilan demi mendapatkan benih dan metode hidroponik yang cocok di Pekanbaru. Justru, masalah harga dan pasar yang sering ditakutkan oleh para pegiat pemula hidroponik tidak ditemukan oleh Bu Ika. Menurutnya, pasar hidroponik di Pekanbaru masih bisa dikatakan sangat sedikit. Karenanya, tidak terlalu sulit untuk menemukan pasar asal kita dapat konsisten dan fokus dengan apa yang kita tanam.
“Tapi, kan, kebanyakan orang menanam sayuran dengan hidroponik, maunya langsung berhasil. Sekali nanam, langsung banyak yang beli. Ya, gak bisa, kan?” kata Bu Ika, ketika saya bertanya kepadanya tentang masalah pasar yang sering dikhawatirkan oleh pegiat hidroponik pemula. “Minimal, perlu tiga kali musim tanam, biar sayuran kita diketahui dan dibeli orang. Nah, sayangnya banyak yang nyoba, terus gak ada yang beli, jadi malas menanam untuk musim selanjutnya. Jadi, ya, susah! Bukan pasar sayurnya yang gak ada, tapi kitanya saja yang belum konsisten.”
Kendala lain yang sering ditemukan dan dikeluhkan adalah benih yang tidak mau tumbuh. Bu Ika bercerita, banyak konsumennya yang mengeluh tentang kendala ini. Dengan santai, Bu Ika menjawab, “Susah sih, nih! Kalau masalahnya di benih yang gak mau tumbuh—kadang, udah pakai di rendam air, di coba ini-itu tapi benih gak mau tumbuh—ya, itu namanya takdir. Karena, kan, benih itu hasil dari tanaman yang sebelumnya. Nah, kan, kita gak tau gimana kondisi tanaman sebelumnya. Untuk mengatasi itu, makanya saya selalu mencoba menggunakan benih-benih yang ada sertifikatnya dan kemasannya baik. Jangan pakai benih hasil repacking karena benih ini sensitif. Bisa jadi, benih gak tumbuh karena repacking-nya gak bener. Itu salah satu alsannya kenapa di sini jarang, bahkan gak jual, benih repacking. Kan, kasihan konsumennya…”
Menurut saya, Pekanbaru Green Farm ini sangat menarik dan membantu pegiat-pegiat yang ingin mulai menanam hidroponik skala rumahan, sekolahan, bahkan bisnis. Soalnya, selain menjual kebutuhan tanam-menanam dan penyediaan kelas gratis, ternyata Pekanbaru Green Farm juga sangat terbuka untuk teman-teman yang ingin berkonsultasi dan melakukan penelitian tentang hidroponik di Pekanbaru. Bu Ika juga mengatakan bahwa sudah banyak mahasiswa-mahasiswa yang datang dan berkonsultasi kepadanya, serta banyak juga kunjungan dari pihak sekolah-sekolah untuk melihat kebun Hidroponiknya.
Sebelum pulang, saya dan Ade juga ingin melihat kebun hidroponiknya. Meski tidak luas, tetapi kebun Pekanbaru Green Farm ini sangat produktif dan memiliki banyak sistem penanaman hasil dari penelitian Bu Ika. Hampir setiap pagi, di kebun ini ada kegiatan panen dan penanaman. Kebun hidroponik milik Pekanbaru Green Farm ini, di mata saya, adalah inisiatif yang keren dan sangat konsisten. ***