Selain mengelaborasi proyek Aksara Tani di Gili Meno bersama teman-teman Pasirputih, Sayurankita juga ikut serta dalam riset AksaraPangan selama satu bulan yang diadakan oleh Berajahaksara (salah satu program utama Pasirputih) untuk membaca fenomana pangan di Lombok. Riset ini menjadi penting untuk menunjang data Aksara Tani yang sedang dilakukan oleh Sayurankita.
Hari Sabtu, 2 September 2017, saya dan tim AksaraPangan (Ijtihad, Etika, dan Siba) berdiskusi tentang riset dan apa itu “AksaraPangan”. Kami mencoba menggali kebutuhan data, melakukan pemetaan lokasi, dan membuat timeline kerja selama riset. Diskusi ini akhirnya memutuskan bahwa riset AksaraPangan akan fokus pada padi gogo rancah. Alasannya, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai Bumi Gora (Bumi Gogo Rancah). Kami sepakat untuk menelusuri kembali sejarah masuknya dan perkembangan padi gogo rancah saat ini di Lombok, terutama di Lombok Tengah. Menurut data sementara yang sudah kami kumpulkan, Lombok Tengah memiliki lahan yang cukup luas untuk pengembangan dan penanaman padi gogo rancah ini.

Relief-relief yang ada di dinding sekitar Monumen Bumi Gora tidak terawat dengan baik.
Senin pagi, 4 September, kami (saya, Ijtihad, Onyong, dan Siba) mengunjungi lokasi pertama untuk memperoleh data yang kami butuhkan, yaitu Monumen Bumi Gora yang terletak di taman Udayana, Jalan Udayana, Mataram. Monumen Bumi Gora berbentuk sebuah batu besar yang terletak di tengah taman dan dikelilingi oleh dinding-dinding dengan relief-relief yang menggambarkan perkembangan petani dan pertanian, khususnya padi dan nelayan. Monumen Bumi Gora konon menjadi simbol kebanggaan warga NTB, khususnya Lombok. Monumen ini merupakan saksi bisu bagaimana masyarakat NTB mengembangkan padi gogo rancah dan kemudian daerahnya terkenal sebagai Bumi Gora (Bumi Gogo Rancah).
Monumen Bumi Gora dibangun pada tahun 1988, masa pemerintahan Soeharto. Sebagaimana yang tertulis di batu tersebut, pembangunan monumen ini dianggap sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan NTB dalam menanam padi gogo dan dapat membantu usaha pencapaian swasembada pangan pada tahun 1984. Namun sayang, dapat dilihat bahwa relief-relief yang ada di dinding sekitar Monumen Bumi Gora tidak terawat dengan baik. Bahkan, ada sebagian dinding relief yang tertutupi gerobak penjual makanan. Selain itu, tahun kejadian yang digambarkan pada relief-relief itu juga tidak tertulis dan cukup sulit untuk menemukan referensi tulisan yang menceritakan relief dan sejarah pembuatannya.

Bagaimanapun, kami akhirnya tetap membaca, menelaah, dan menginterpretasi setiap relief yang ada di dinding sekitar monumen, lalu mencoba merangkainya menjadi narasi. Secara umum, relief-relief tersebut menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat NTB sampai pada akhirnya menjadi daerah yang dikenal dengan keberhasilan gogo rancah-nya.
Pada dinding sisi kiri dari pintu masuk, kita dapat melihat relief yang menggambarkan bagiamana keadaan masyarakat sebelum padi gogo masuk ke NTB. Masyarakat bertahan hidup dari hutan; secara bergotong royong masyarakat memenuhi kebutuhan pangan dan membangun rumah. Relief selanjutnya mengilustrasikan bagaimana hutan mereka terbakar (atau sengaja dibakar untuk membuka lahan?). Kejadian ini mengakibatkan bencana busung lapar. Peristiwa itu mendapat perhatian dari pemerintah yang akhirnya memberikan bantuan. Kita juga dapat melihat pada relief itu ilustrasi tentang pelaksanaan transmigrasi besar-besaran dan bagaimana pemerintah mulai melakukan pembangunan infrastruktur.
Pada relief selanjutnya, dapat dilihat aktivitas masyarakat nelayan. Terlihat adanya perbedaan di sini, yakni nelayan dan pelabuhan menjadi pusat perekonomian. Pada relief tersebut juga digambarkan bagaimana budaya masyarakat menyikapi pertanian, seperti adanya pesta perkawinan setelah panen, dan bagaimana hubungannya dengan kesenian.











Sementara itu, dinding yang berada tepat di bawah monumen menceritakan bagaimana kondisi tanah kering lantas ditanami dengan padi. Relief tersebut dapat dibaca dari arah kanan ke kiri, dimulai dari relief padi dan tanah kering yang menjadi simbol dari bumi gora, kemudian adegan pertemuan-pertemuan antara aparat pemerintah dan tokoh agama, termasuk pertemuan bersama petani. Terdapat juga relief yang menggambarkan proses penanaman pertama yang disaksikan oleh pejabat pemerintah. Di adegan ini, kita dapat melihat munculnya KUD dan BRI, serta penyediaan alat-alat pertanian (alsintan) seperti cangkul dan sabit. Di relief-relief tersebut digambarkan juga bagaimana masyarakat NTB bergotong royong dalam melakukan setiap proses penanaman padi, mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, bahkan pemanenan. Pada relief terakhir, dapat dilihat bagaimana keberhasilan penanaman padi gogo rancah; relief tersebut menggambarkan presiden Soeharto ikut serta dalam proses memanen.


















Dari observasi terhadap relief-relief di Monumen Bumi Gora itu, saya mendapat kesimpulan sementara bahwa padi gogo dan sistem penanaman gogo rancah memang menjadi primadona di NTB (setidaknya pada masa itu). Tapi yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah, apakah benar, sebelum masuknya gogo rancah, masyarakat NTB pernah mengalami busung lapar? Apa saja makanan pokok masyarakat sebelum gogo rancah? Sejak kapan sistem gogo rancah mulai masuk dan berhasil? Riset masih akan dilanjutkan untuk mencari referensi dan berdiskusi dengan petani. ***
Tulisan ini sudah pernah dimuat di website Berajahaksara, dengan judul “Arti Visual (Relief); Gogo Rancah Dan Krisis Pangan Lokal “, 8 September 2017. Dimuat kembali di website Sayurankita dengan suntingan di beberapa bagian, sesuai standar redaksional Sayurankita.
Editor: Manshur Zikri