Menanam Untuk Mengurangi Sampah di Gili Meno

Penulis: Sumaidi (pengelola sampah di Gili Meno) dan [didampingi oleh] Afifah Farida (Sayurankita).
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini sudah terbit di http://www.berajahaksara.org dengan judul “AksaraTani; Menanam Untuk Mengurangi Sampah di Gili Meno“. Dimuat kembali di Sayurankita.com dengan suntingan baru atas izin Yayasan Pasirputih.

 

Saya tertarik ikut berkebun di The This-Kon karena saya hobi menanam. Sebelum bekerja di Gili Meno, saya juga sering menanam di kampung saya, Lokok Piko, Desa Sambik Bangkol, Kecamatan Gangga, Lombok Utara. Biasanya, saya menanam kacang tanah, jagung, atau pohon-pohonan seperti sengon, jati putih, pisang, dan jambu mete. Saya menanam di lahan punya sendiri dan dikelola sendiri. Selain bertani, saya juga memelihara kambing. Makanya saya memilih menanam pohon sejenis sengon dan jati putih, karena daunnya dapat diambil untuk makanan kambing.

Selain menanam, pekerjaan saya di pinggir (di kampung—daerah di dataran pulau Lombok—red) adalah supir. Saya bekerja di perusahaan Muda Berseri yang bergerak di bidang penjualan hasil bumi pertanian, khususnya biji-bijian seperti kacang dan kacang mete, dan kelapa. Saya bekerja sebagai supir yang mengantarkan hasil-hasil pertanian tersebut ke Mataram dan daerah-daerah lainnya, tergantung daerah mana yang memesan. Barang-barang tersebut juga berasal dari berbagai daerah di Lombok, termasuk dari Sumbawa. Saya bekerja di perusahaan tersebut selama 3 tahun dan kemudian berhenti karena ada suatu masalah di rumah. Setelah berhenti, saya menjadi pengangguran di rumah beberapa minggu. Saat masih mencari pekerjaan lain, Pak Hanaming, yang kemudian menjadi bos saya, menawarkan pekerjaan di Gili Meno. Mendapatkan tawaran tersebut, saya langsung berangkat ke Meno dan pekerjaan pertama yang saya lakukan adalah membuat tempat pembakaran sampah.

Salah satu yang membuat saya menerima tawaran tersebut karena saya belum pernah ke Meno. Selain itu, saya juga dulu bercita-cita untuk bekerja di hotel sehingga saya mengambil kesempatan ini dan berharap saya bisa memiliki peluang untuk bekerja di hotel. Tapi setelah di sini, saya melihat teman-teman yang bekerja di hotel itu memiliki jadwal kerja yang terikat, akhirnya saya mengurungkan niat untuk bekerja di hotel, dan saya memilih bekerja yang tidak terikat dan yang sewaktu-waktu bisa pulang ke rumah di pinggir (mainland). Sejauh ini, saya betah bekerja di Meno karena tidak terlalu ramai dan saya merasa nyaman.

Pekerjaan pertama saya adalah tukang proyek bangunan selama 7 bulan, yakni membuat tempat pembakaran sampah. Bapak Hanaming, warga Gili Meno, adalah bos saya yang pertama mengumpulkan sampah di Gili Meno dan bekerja di Dinas Perhubungan. Bapak Hanaming mengumpulkan sampah dari hotel-hotel di Gili Meno bersama beberapa karyawan, termasuk saya. Setelah itu, karyawan pengumpulan sampah banyak yang berhenti karena pendapatannya yang masih sedikit. Kemudian, Bapak Hanaming meminta kesedian saya untuk mengumpulkan dan mengelola sampah itu. Setelah dua tahun saya mengelola sampah-sampah itu, ternyata sampahnya mulai banyak karena hotel-hotel juga bertambah, akhirnya pendapatan saya juga bertambah banyak.

TPA (Tempat Pembuangan Sampah) di Gili Meno. (Foto: arsip Aksara Tani).

Sebelumnya, pengelolaan sampah-sampah yang terkumpul tersebut menggunakan sistem timbunan. Karena sampah terus bertambah banyak, dan saya berpikir jika seperti ini terus maka karyawan akan kecapean, maka sistem timbun diubah menjadi sistem pembakaran. Sistem pembakaran ini sudah berjalan satu setengah tahun. Tong pembakaran dibuat dengan ukuran 2,5 x 3m dengan tinggi 3 m. Ada dua tong pembakaran sampah yang dibuat. Masing-masing tong memiliki kapasitas pembakaran 2,5 ton sampah per hari. Debu yang dihasilkan dari pembakaran sampah tersebut sekitar satu dum (tong besar) per hari. Debu ini dijadikan batako atau timbunan pondasi rumah. Sementara itu, sampah plastik, kaleng, botol, dan beka dijual ke pinggir. Dari penjualan tersebut, pendapatannya dapat mencapai 1,5 juta per bulan. Kaleng-kaleng tersebut dijual di lokasi itu dan masih berlaku sampai sekarang. Dulu, ada 43 hotel yang bergabung, yang sampahnya diangkut setiap hari. Tapi, karena pabrik ditutup, sekarang hanya tersisa 10 hotel.

Tempat pembakaran sampah Gili Meno. (Foto: arsip Aksara Tani).

Pabrik pembakaran sampah mulai ditutup sejak bulan September lalu karena banyak yang komplen masalah asap yang mengganggu masyarakat. Sampai saat ini, kita memang belum tahu bagaimana menyaring asap agar tidak mengganggu, makanya pabrik ditutup. Untuk sekarang, sampah-sampah itu dibawa ke pinggir, tapi untuk yang organik dikelola sendiri oleh hotel-hotel itu sendiri. Hanya sampah anorganik yang diambil dan dibawa ke pinggir. Pengangkutan sampah ke pinggir dilakukan pada setiap hari Senin. Pengelola sampah akan mengumpulkan sampah-sampah anorganik dari 10 hotel yang masih tergabung ke pabrik, mulai jam 8 sampai jam 11 pagi. Sampah dikumpulkan di lubang tempat pembakaran sampah organik, plastiknya dipilah, kemudian baru dikirim ke pinggir setiap hari Senin.

Selain menjadi pengelola sampah tersebut, saya juga bekerja di The This-Kon sebagai tukang kebun sejak bulan September setelah pabrik pembakaran sampah ditutup. Dan saya juga punya aktivitas di bengkel dekat pabrik sampah.

Sumaidi tengah mempersiapakan media tanam dari sabut kelapa. (Foto: arsip Aksara Tani).

Saya tertarik dengan ide The This-Kon yang menanam memanfaatkan pekarangan yang ada di The This-Kon. Selama ini, yang ditanam hanyalah bunga yang tidak bisa diambil manfaatnya atau tidak bisa kita makan, fungsinya hanya untuk hiasan. Seandainya semua orang menanam sayuran di pekarangan rumah, mungkin itu dapat mengurangi pasokan sayur ke Gili ini dan dapat mengurangi sampah karena barang bekas bisa digunakan untuk menanam. Sampah organik dapat dijadikan pupuk, sedangkan sampah anorganik dapat dijadikan sebagai tempat menanam seperti yang dilakukan di The This-Kon. Di sini, saya dan teman-teman juga mencoba memanfaatkan serabut kelapa yang banyak ditemukan di pulau. Serabut kelapa digunakan sebagai bahan dasar penanaman sebelum ditimbun tanah. Selain dapat menjadi pupuk, serabut kelapa juga bisa menyimpan air dan mengurangi suhu panas di dalam tanah. Saya mendapatkan ide ini dari kakek saya yang menggunakan serabut kelapa pada saat menanam mangga atau pada musim kemarau. Kata kakek saya, dengan serabut kelapa ini, kita tidak perlu sering-sering menyiram.

Menurut saya, menanam di Meno memiliki kendalanya karena kadar air pulau itu yang asin. Itu yang membuat saya tertantang untuk ikut mencoba melakukan penanaman. Sejauh ini, menurut saya, perkembangan tanaman di The This-kon agak lama tumbuhnya. Sudah lebih tiga minggu tanamannya (sayuran), tapi belum mencapai ketinggian normal. Untuk tanaman palawija masih tumbuh normal. Harapan saya, dengan melakukan penanaman ini, saya bisa menjadi contoh supaya teman-teman juga melakukan penanaman dengan memanfaatkan barang bekas di pulau ini agar sampah-sampah di Meno berkurang. Saya pikir, ini salah satu cara untuk mengurangi sampah, yaitu dengan menanam menggunakan sampah-sampah yang masih dapat digunakan. ***

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s