Penulis: Afifah Farida
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini juga terbit di www.berajahaksara.org dengan judul “AksaraTani; Ares(Bukan Dewa Perang) Masakan Khas Berbahan Bonggol Pisang“. Dimuat di Sayurankita.com dengan suntingan baru atas izin Yayasan Pasirputih.
“Selain pelecing kangkung, apa lagi, sih, makanan yang khas di Lombok?” pertanyaan itu saya lontarkan ke Oka, salah satu teman dari Lombok yang saya temui di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan bangga, Oka menjawab, “Ares.”
Ketika mendengar kata ‘ares’, saya langsung teringat salah satu dewa dalam mitologi Yunani Kuno, yaitu dewa perang, anak dari dari dewa Zeus dan Hera. “Ares? Makanan dewa?”
Saya mencoba menelusuri lebih jauh tentang ares, si makanan wajib ketika acara begawe (nikahan) dan roahan (syukuran) ini. Apakah dulu dewa Ares memakan makanan ini sehingga namanya menjadi ares, atau ares yang dimaksud tidak memiliki hubungan sama sekali dengan si dewa perang?

Ares adalah batang pisang muda yang diolah dengan santan (dibuat gulai/kari) dan menjadi makanan wajib ketika ada acara begawe atau roahan. Masyarakat Sasak mengatakan bahwa tidak afdal ketika mengadakan acara begawe atau roahan, tetapi tidak ada ares. Ares bisa berdiri sendiri tanpa campuran bahan lain, atau bisa juga dicampur dengan daging.
Ketika saya berada di Gili Meno yang hampir semua garis keturunan masyarakatnya berasal dari Sulawesi (Makassar, Manggar, dan Bugis), masakan ares yang identik dengan budaya Sasak, masih dapat ditemui di setiap acara begawe dan roahan tersebut.
Setelah sekian lama hanya memakan ares yang sudah diolah, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana proses ares dari saat panen, pengolahan, sampai menjadi ares siap santap dengan nasi hangat dan lauk pauk lainnya.

Di Gili Meno, batang pisang untuk membuat ares ini dapat berasal dari pinggir (mainland/Lombok), kebun sendiri, atau kebun tetangga. Daeng Sik, salah seorang warga Gili Meno, pernah mengatakan kepada saya bahwa saat kami memindah-tanam pohon pisang, bahwa pohon-pohon pisang itu adalah salah satu bentuk investasi atau tabungan untuk acara begawe atau roahan.
Ada yang mengatakan kepada saya bahwa hampir semua pohon pisang muda bisa menjadi bahan untuk membuat ares. Tapi ada pula yang berpendapat, hanya beberapa jenis pisang saja yang enak untuk menjadi ares, seperti pisang Sabe (sejenis pisang kepok) atau pisang raja. Tapi yang pasti, pohon pisang yang bagus diolah menjadi ares adalah pohon pisang yang belum berbunga. Penampakan ares juga tergantung pada jenis pisang yang digunakan. Contohnya, pisang Sabe yang diolah jadi ares, ares-nya akan berwarna putih tidak bergetah, berbeda dengan pisang-pisang lainnya yang berubah warna menjadi hitam karena getah yang terlalu banyak. Selain jenis pisang, ares yang lezat juga tergantung pada proses pembuatannya. Biasanya, ares akan dipanen sehari sebelum acara begawe atau roahan, kemudian dibersihkan dan dipotong halus.



Dari pembuatan ares ini, saya melihat ada kerjasama antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Panen batang pisang muda, pembersihan, dan pemotongan batang tersebut menjadi potongan-potongan kecil, serta pembuangan getahnya dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan pengolahannya akan dilakukan oleh kaum perempuan.
Batang pisang muda yang telah dipotong kecil-kecil ditaburi garam agar potongan-potongan tersebut menjadi lunak (lemas) dan lembut serta getahnya (serat atau benang-benang halus) keluar dan dapat dibersihkan. Setelah itu, potongan batang muda tersebut siap diolah dengan bumbu kari (gulai) bersama santan, dan dapat dicampur dengan daging sapi. Kemudian ares siap disantap bersama ketika acara begawe atau roahan.
Memang, ares termasuk menu wajib ketika acara begawe dan roahan. Tetapi, saat ini ares mulai naik ke permukaan di bidang kuliner. Kita tidak harus menunggu undangan begawe atau roahan untuk menikmati ares, tetapi sudah dapat kita temukan di rumah-rumah makan atau restoran-restoran di Lombok.
Begitulah cerita ares, makanan khas dalam begawe atau roahan di Lombok. Bukan cerita tentang dewa perang. ***