Penulis: Afifah Farida
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini sudah dimuat di www.berajahaksara.org dengan judul “AksaraTani; Mandi Safar, Ritual Penolak Bala“. Dimuat kembali di Sayurankita.com dengan suntingan dan judul baru atas izin Yayasan Pasirputih.
Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat tiga Gili (tiga pulau: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air) adalah mandi safar “Rebo Bontong” yang diadakan setiap hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar. Menurut cerita beberapa warga Gili Meno, mandi safar “Rebo Bontong” adalah tradisi dari Bugis dan Manggar yang masih dilakukan sampai saat ini, dan kini menjadi sebuah event tahunan yang diagendakan secara bergilir di tiga Gili tersebut. Salah satu alasan yang menjadikan mandi safar acara rutin tahunan di tiga Gili ini adalah untuk meningkatkan pariwisata di tiga Gili; acara mandi safar dibuat sangat meriah dengan berbagai lomba, door prize, dan panggung musik. Untuk tahun ini, mandi safar yang seharusnya diadakan di Gili Meno dipindah ke Gili Trawangan sehingga tidak sedikit warga Gili Meno ikut bergabung ke Gili Trawangan untuk mengikuti acara mandi safar.
Tradisi mandi safar “Rebo Bontong” ini diyakini sebagai ritual penolak bala dan pembersihan diri. Menurut beberapa referensi, tradisi mandi safar tidak hanya dilakukan di Gili, tetapi juga dilakukan di beberapa daerah pulau Jawa dan Sumatera. Bulan safar dipercaya sebagai bulan yang mengandung banyak bahaya, oleh karena itu mandi safar ditujukan untuk membersihkan diri agar terhindar dari bahaya tersebut.
Tradisi yang dilakukan sebelum mandi safar di tiga Gili adalah melepas eteh-eteh (‘sesaji’) ke laut, zikir, dan berdoa bersama, untuk memohon keselamatan dan menolak bala yang dipimpin oleh pemangku adat. Kemudian mengusap kepala dengan parutan kelapa yang telah dicampur dengan air dan doa, kemudian mandi ke laut. Pada saat mandi di laut, warga secara bersama-sama akan mencoba merebut sembek (‘berkah dari sesajen’—red) yang ada pada tumpukan sesaji.

Sebelum perayaan mandi safar di Gili Meno, saya dan Hamdani bertemu dengan Papuk Yol, pemangku adat Gili dan pemimpin upacara mandi safar. Papuk Yol bercerita bahwa mandi safar adalah tradisi menolak bala dengan cara berdoa kepada Tuhan agar makhluk-makhluk yang tinggal di laut tidak mengganggu manusia yang hidup di darat. Berbeda dengan dua Gili lainnya, di Gili Meno, Papuk Yol masih memegang kepercayaan bahwa ritual pertama yang harus dilakukan sebelum melepas eteh-eteh ke laut adalah meminta izin ke rawa karena Papuk Yol percaya bahwa darat (rawa) dan laut tidak bisa dipisahkan, sehingga meminta izin ke rawa penting dilakukan, meskipun dilakukan sendiri oleh Papuk Yol. Setelah melakukan ritual di rawa, maka Papuk Yol akan segera ke laut untuk berdoa dan mandi, dan kemudian mengajak anak-anaknya untuk mandi bersama di laut. Sebelum mandi, Papuk Yol mengusapkan parutan kelapa yang telah diberi doa ke kepala anak-anaknya.
Yang seru dan menarik dari tradisi mandi safar adalah warga yang tidak mandi di laut harus bersiap digendong warga lain untuk diceburkan ke laut. Saling cebur ini merupakan salah satu cara untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama warga. Setelah mandi beramai-ramai di laut, maka warga akan memakan bekal makanan yang dibawa secara bersama di tepi pantai. Bagi warga Gili, mandi safar termasuk perayaan spesial, sehingga tidak sedikit ibu-ibu yang membuat makanan seperti ketupat untuk bekal makanan setelah mandi di laut.

Setelah mengikuti perayaan mandi safar dan makan bersama di tepi pantai Gili Meno, beberapa masyarakat Gili Meno pergi ke Gili Trawangan untuk melihat perayaan mandi safar di sana. Saya, Hamdani, dan Alya juga tidak ingin melewatkan kesempatan itu, kami juga ikut serta dengan masyarakat Gili Meno naik kapal untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Meskipun saya tidak mengikuti upacara mandi safar di Gili Trawangan dari pagi hari, tetapi saya dapat merasakan mandi safar di Gili Trawangan sangat mewah, penuh panggung musik, dan berbagai macam lomba, dan ramai oleh pengunjung yang mandi di pantai dan penjual makanan. Saya merasakan suasana yang sangat berbeda di antara dua Gili tersebut.
Merasakan dua suasana yang berbeda tersebut, menimbulkan pertanyaan sendiri apakah penting merayakan mandi safar begitu mewah seperti yang dilakukan rutin setiap tahun secara bergilir di tiga Gili tersebut?

Pertanyaan tersebut muncul karena pernyataan beberapa warga Gili ketika saya menanyakan bagaimana tradisi mandi safar sebelumnya. Menurut beberapa warga dan tetua di Gili Meno, sebelum mandi safar dirayakan secara mewah seperti saat ini, masyarakat secara sadar akan datang ke pantai untuk mandi safar lalu makan bersama dengan bekal yang telah dibuat sehari sebelumnya secara bersama-sama. Namun, sejak ada tradisi mandi safar secara bergilir ini, maka kesadaran pentingnya tradisi mandi safar secara perlahan mulai luntur. Masyarakat hanya mengetahui bahwa mandi safar diadakan setiap tahun secara bergilir di tiga Gili. Pernyataan ini saya simpulkan karena ketika saya bertanya tentang mandi safar ke beberapa warga Gili Meno, jawabannya hampir sama, yaitu “Tahun ini, mandi safarnya giliran Gili Trawangan”. Maka, menurut saya, kita—khususnya warga Gili—patut kembali mempertanyakan seberapa penting mandi safar tersebut dirayakan secara besar-besaran dan bergilir? Untuk meneruskan tradisi atau menjual tradisi mandi safar tersebut karena isu pariwisata yang sedang digaung-gaungkan? Bukankah mandi safar adalah tradisi sakral yang diwariskan secara turun temurun? ***