Penulis: Ahmad Ijtihad (anggota Yayasan Pasirputih)
Penyunting: Manshur Zikri
Tulisan ini sudah pernah dimuat di www.berajahaksara.org dengan judul “AksaraTani; Meramu Rasa Bersama Warga“. Dimuat kembali di Sayurankita.com dengan suntingan dan judul baru atas izin Yayasan Pasirputih.
Taukah kamu bahwa bahan panganan lokal jika diolah dengan cara yang istimewa akan menjadikannya makanan yang istimewa pula?
Proyek site-specific Aksara Tani, yang digarap sejak September 2017 lalu dan kini sudah sampai dipenghujung tahun ini, melakukan berbagai macam kegiatan yang melibatkan dan diinisiasi warga, di antaranya riset kolektif, identifikasi tanaman, menanam bersama, memburu buah, live cooking, dan yang lainya. Aksara Tani sendiri merupakan sebuah platform yang mengkaji aspek sosio-kultural masyarakat melalui pertanian secara umum. Dari pertanian, menilik kehidupan warga, karena pembudayaan peradaban dan tradisi manusia terbentuk atas dasar bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Menanam adalah salah satunya.
(11/12/2017). Beranjak dari pasirputih, saya, Mansyur Khalid, dan Muhammad Sibawaihi berangkat menuju Bangsal, menyeberangi selangkang pulau menuju Gili Meno. Hari itu, langit agak cerah dan ombak yang tenang mempercepat laju boot yang kami tumpangi. “ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Gili,” kata Khalid, seorang mahasiswa yang tengah menyusun penelitiannya untuk menamatkan pendidikan Strata 1 di sebuah universitas di pulau Jawa. Tepat pada pukul 11. 23 WITA, kami sampai di bibir pantai Gili Meno. Tak sempat terhelat (‘beristirahat’—red) kami bergegas menuju The This-Kon yang menjadi laboratorium pertanian dan basis aktivitas proyek site-specific Aksara Tani di Gili Meno.

Hari itu bertepatan dengan acara Live Cooking #2 bersama warga dengan dua orang chef yang cukup ternama di Gili Meno, yaitu chef Made Malias dan chef Sidin Maha Maya. Kolaborasi ini merupakan hasil negoisasi tim Aksara Tani bersama PKK Gili Meno dengan warga sehingga dalam kesepakatannya, acara tersebut dilakukan hari itu. Kami pun sampai di The This-kon setelah berjalan kaki sekitar 300 meter dari pelabuahan. Terlihat Imran dan Ace (pasangan suami-istri pemilik The This-kon, anggota Pasirputih), Afifah (dari Sayurankita), Hamdani (anggota Pasirputih), dan beberapa pekerja The This-kon tengah beraktivitas. Kami pun terhelat meregangkan urat setelah beranjak dari Pasirputih tadi.
Persiapan acara Live Cooking pun mulai dilakukan, kawan-kawan mengumpulkan perlengakapan, bahan panganan yang akan diolah dan menata tempat yang akan digunakan sebagai lokasi acara. Pada kesempatan itu, Chef Made dan Chef Sidin akan mengolah bahan panganan dari daun kelor dan singkong.

Tabuh waktu sore yang tertandai adzan ashar mulai bergema. Matahari pun mulai condong, membayang lebih seinci dari bentuk aslinya. Semua perlengakapan sudah siap, satu per satu diangkut ke lokasi acara yang telah ditata sebelumnya. Chef Made datang lebih awal dari yang lain sembari mengecek persiapan bahan yanag akan diolah. Cheaf made merupakan salah satu chef senior di Malias Bungalow di Gili Meno. Ia adalah seorang chef yang cukup berpengalaman, meniti karir dari pulau dewata hingga bermigrasi ke pulau Lombok, mencoba mengeksplorasi citarasa nusantara dari karya rasa yang diciptakannya. Ia memiliki beberapa mitra di Tiga Gili, Pemenang, dan Tanjung.
Semenatar itu, warga pun mulai berdatangan, seolah tak sabar untuk memasak bersama. Chef Sidin pun terlihat sederhana. Chef muda dari Maha Maya ini memiliki keahlian dalam mengolah bahan pangan menjadi cita rasa yang istimewa. Dalam proses ini, Chef Sidin bersama Ace mengajak warga mengolah panganan sederhana menjadi istimewa pula.
16:30 WITA. Tampaknya para ibu-ibu tidak sabar untuk memulai acara. Afifah (Sayurankita) yang sekaligus salah satu inisiator kegiatan ini membuka acara Live Cooking dengan memperkenalkan dan menjelaskan beberapa hal terkait proses perencanaan acara ini dan mengucapkan banyak terima kasih kepada warga (ibu-ibu) yang menyempatkan diri hadir pada acara tersebut.

Memasak pun dimulai dengan mengupas singkong dan memerut (‘memisahkan daun dari tangkai’) daun kelor. Sebagian dari ibu-bu mengupas bawang dan memasak air. Acara tersebut riuh dengan perbincangan ibu-ibu, sesekali mereka diam mendengarkan penjelasan yang diutarakan oleh kedua chef tersebut.

Pada kesempatan itu, Chef Made membuat pepes kelor dan pergedel singkong serta membawa roti yang terbuat dari daun kelor. Mula-mula, daun kelor yang telah dibersihkan dicampur ke dalam adonan parutan kelapa dan dibumbui dengan cabai, bawang putih, dan bahan lainnya. Setelah adonan tercampur rata, adonan pun dibungkus dengan daun pisang dan dipepes/dikukus, didiamkan hingga matang dan siap disajikan. Chef Made menyebutnya “Liklik Kering” (Liklik merupakan salah satu pauk yang berbahan dasar daun kelor dan parutan kelapa yang di masak dengan kuah). Selain itu, chef Made juga membuat perkedel yang terbuat dari singkong yang dihaluskan, dicampur ke dalam adonan tepung yang sudah dibumbui, kemudian digoreng.

Sementara itu, Chef Sidin membuat pancook dari daun kelor dengan adonan tepung. Mula-mula, daun kelor diblender hingga halus dan dicampur ke dalam adonan yang telah diberikan penyedap rasa. Adonan tersebut dikukus ke dalam panci kedap panas hingga mengembang. Dalam penyajiannya, pancook ini dipotong persegi dengan ukuran sama dan dilumuri dengan selai rasa stroberi. Selain itu, Chef Sidin juga membuat bakpao (tigapo) dari daun kelor yang diisi dengan gula jawa di dalamnya dan dilengkapi dengan selai kacang.


Proses pengolahan bahan panganan lokal dengan cara yang istimewa menghasilkan makanan yang istimewa pula. Presentasi hasil masakan/makanan kolaborasi warga bersama kedua chef tersebut begitu sederhana. Setelah semua makanan dihidangkan, semua peserta langsung berebut ingin mencicipi cita rasa daun kelor dan singkong setelah diolah menjadi masakan ala restoran ternama.

Dari proses ini, Ibu Kadus Gili Meno berharap agar kegiatan yang mengedukasi warga seperti ini dilakukan sebagai ruang berkumpul, berbagi, dan berbahagia. Ibu Kadus juga menginginkan kegiatan-kegiatan semacam ini dilakukan tidak hanya hari itu saja, tetapi berkelanjutan. “Bisa saja kita jadwalkan sekali seminggu atau sekali sebulan,” tuturnya.
Chef Made berkomentar tentang pentingnya bagi warga untuk menyadari bahwa panganan lokal sebenarnya tidak kalah dengan makanan internasional sekalipun, hanya tergantung pada penyajiannya saja. Ia juga berharap agar acara ini menjadi event bulanan warga, khusunya di Gili Meno. “Saya siap berbagi kapan pun,” katanya lantang.
Chef Sidin lebih memandang kegiatan ini sebagai peluang bagi warga untuk mempelajari resep-resep masakan yang berkualitas. Makanan yang disuguhkan hari itu barangkali belum leluasa untuk diamati. Chef Sidin salut kepada tim Aksara Tani dan warga Gili Meno terkait semangat berbagi dan belajar bersama. Ia juga berharap ini akan menjadi kegiatan yang berkesinambungan.

Menurut saya, memasak bersama mampu mengantarkan kita tidak hanya pada persoalan-persoalan dapur, tetapi juga lebih jauh dapat menjadi ruang untuk berbagi pengalaman, ruang curhat, atau mempelajari dinamika sosial warga. Aktivitas memasak menjadi media pengaantar untuk memasuki bagian-bagian prinsipil dalam tatanan paling kecil, yaitu keluarga. Keluarga menjadi alat pencetak karakter setiap individu di dalamnya dan berpengaruh pada bagaimana relasi sosialnya di masyarakat nanti. Oleh karena itu, peruntukkan ruang ini lebih kepada bagaimana menjadi pribadi yang bahagia. “Melepas kesibukan untuk berkumpul bersama tetangga itu penting.”
Setelah makanan karya kolaborasi warga dengan kedua chef tersebut habis tersantap nikmat oleh semua peserta, kami pun berfoto ria dan berbahagia. ***
Kegiatan ini juga sempat disiarkan secara live lewat akun Instagram @aksaratani
One thought on “Warga Meramu Rasa”