Penulis: Afifah Farida Jufri
Penyunting: Ade Surya Tawalapi
Tulisan ini juga dimuat di www.ipehthepooh.blogspot.com pada 18 Desember 2016 dengan judul “Sejarah Secangkir Kopi“. Dimuat di Sayurankita.com dengan suntingan baru atas izin penulis.
KOPI DIPERCAYA SEBAGAI minuman hitam pekat pahit yang bisa membuat mata melek sepanjang malam. Minuman ini ternyata tidak hanya nikmat diminum bersama sepiring gorengan sambil nongkrong bersama teman, tetapi juga menarik untuk jadi bahan tulisan. Sebab, kopi mempunyai kekuatan “magis” bagi siapa saja yang pernah meminumnya. Hampir semua yang pernah bersentuhan dengan kopi menuai sejarah, cerita dan cinta. Dan memang, di balik hitam pekat dan pahitnya secangkir kopi, ada sejarah, cerita dan cinta yang panjang.
Siapa yang mengira bahwa awal mula kehadiran minuman favorit di dunia ini adalah dari seekor kambing yang tidak sengaja memakan biji buah berry merah. Biji buah berry itu diprediksi sebagai kopi. Legendanya mengatakan bahwa seorang pengembala, yang bernama Kaldi, melihat kambingnya memakan buah berry merah. Kambing itu kemudian bertingkah hiperaktif, melompat ke sana kemari. Karena penasaran, Kaldi mencoba memakan biji tersebut. Alhasil, si penggembala juga menjadi hiperaktif.
Tidak hanya sampai di situ, Kaldi memberi tahu seorang biarawati bahwa ada buah yang membuatnya hiperaktif. Biarawati itu pun menjadi penasaran. Ia kemudian mencoba mengolah biji buah berry dengan cara merebusnya. Air rebusan itu kemudian diminum. Ternyata, minuman tersebut membuat biarawati itu melek sampai pagi. Akhirnya, biarawati itu rutin meminum olahan biji buah berry agar dapat berdoa sepanjang malam.
Selain legenda Kaldi dan si Kambing, masih ada satu legenda lagi tentang asal muasal kopi. Legenda tersebut menceritakan kisah Ali bin Omar al Sadhili, seorang sufi yang taat beribadah. Ali juga dikenal sebagai tabib, karena keahliannya dalam menyembuhkan penyakit. Namun, keahlian tersebut juga membuat sang Sufi dituduh berteman dengan jin dalam proses pengobatan. Sang Sufi pun diusir dari kotanya. Selama pelarian, sang Sufi bersembunyi di gua. Sampai suatu hari, sang Sufi kelaparan dan memutuskan untuk memakan buah berry merah yang pahit. Buah tersebut ternyata memberikan efek yang luar biasa. Sang Sufi menjadi bertenaga. Akhirnya, untuk mengantisipasi rasa pahit pada buah itu, sang Sufi mengolahnya menjadi minuman. Minuman itu pun kemudian menjadi terkenal seantero negeri. Sang Sufi pada akhirnya dipanggil kembali ke kotanya.[1]

Entah legenda mana yang tepat dan benar tentang asal muasal kopi. Namun, para ahli kopi sepakat bahwa kopi pertama kali ditemukan di daerah Abyssinia, sebuah wilayah di daerah Ethiopia, Afrika. Abyissinia terletak tidak jauh dari Yaman dan Sudan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sedikit banyak budaya dan bahasa Abyissinia juga dipengaruhi oleh negara-negara Arab. Salah satu buktinya adalah kata “kopi” itu sendiri.
Secara etimologi, seperti yang pernah dibicarakan oleh Ukers pada tahun 1909 dalam Symposium on The Etymology of The Word Coffee, kata “kopi” berasal dari kata “qahwa“, atau bahasa Turkinya “kahveh“. Kata-kata ini merujuk pada minuman yang diseduh dan memberikan efek yang kuat. Dari kata-kata tersebutlah diperkirakan muncul istilah “kopi”. Contohnya, dalam bahasa Belanda dikenal istilah “koffie”; dalam bahasa Perancis, “café”; bahasa Italia, “caffè”; bahasa Inggris, “coffee”; bahasa Cina, “kia-fey”; bahasa Jepang, “kehi”; bahasa Melayu, “kawa”; dan bahasa Indonesia menjadi “kopi”.[2]

Kopi menyebar luas hingga ke Eropa pada masa kekhalifahan Utsmani. Pada masa itu, kopi menjadi sajian utama setiap perayaan. Pada tahun 1600, pedagang Venesia membawa pulang kopi ke negara asalnya. Dari sinilah diperkirakan penyebaran kopi di negara-negara di Eropa, termasuk Belanda. Sejak Abad Pertengahan Awal, kopi sudah menjadi minuman legendaris di negara jazirah Arab dan menjadi komoditas penting dalam perdagangan di dunia Islam. Hal ini tertulis dalam catatan Al Razi (850-922) seorang ilmuwan muslim yang juga merupakan ahli kedokteran. Diperkuat dengan catatan Ibnu Sina (980-1037), yang menyebutkan ciri-ciri sebuah biji yang mirip dengan kopi yang kita kenal sekarang.
Negara-negara Arab dikenal sebagai negara yang menguasai komoditas kopi. Ketika mereka mengetahui bahwa kopi menjadi komoditas yang banyak disukai negara-negara asing, mereka berniat untuk memonopolinya, dengan cara mengekspor biji-biji infertil atau biji-biji yang sudah dimasak. Biji infertil tersebut tidak akan bisa tumbuh ketika ditanam lagi. Sampai akhirnya pada tahun 1695, seorang peziarah dari India, Baba Budan, berhasil membawa biji fertil keluar Arab dan menanamnya di India Selatan. Kopi tersebut dapat tumbuh dengan baik dan berkembang. Dari sanalah awal mulanya kemunculan kopi di Indonesia.
Pada tahun 1696, di bawah kepemerintahan Belanda, kopi masuk pertama kali ke Indonesia dalam bentuk benih. Benih kopi tersebut diimpor dari India langsung ke tanah Jawa. Kopi yang masuk itu adalah jenis kopi arabika yang memang berkualitas super dengan rasa asam dan wangi yang harum. Sayangnya, percobaan menanam kopi pertama di daerah Kedawung, Cirebon, gagal total karena banjir. Meskipun demikian, kegagalan tersebut tidak membuat pemerintah Belanda menyerah. Tiga tahun kemudian, Belanda kembali membawa kopi untuk di tanam di Indonesia. Kali ini berbentuk stek batang dan ditanam menyebar di daerah-daerah Jawa. Hasilnya? Voila! Berhasil!

Hasil produksi kopi di tanah Jawa kemudian dapat menggeser hasil produksi dari Yaman, yang pada waktu itu merupakan negara pengekspor kopi terbesar di dunia. Tidak hanya itu, kopi yang dihasilkan di tanah Jawa juga berkualitas baik. Namun, apakah yang dikenal kemudian adalah nama Indonesia? Tentu! Tentu tidak, masudnya. Sebab, saat itu Belanda masih menguasai Indonesia. Maka tidak heran jika Belanda yang mendapat nama dan kekayaan, meskipun kopi yang disekpor itu berasal dari Indonesia. Bayangkan! Betapa ironisnya ketika saat itu Indonesia berhasil menjadi salah satu negara pengekspor kopi terbesar di dunia, tapi rakyatnya masih tetap menjerit!
Prestasi Indonesia yang luar biasa sebagai pengekspor kopi terbesar di dunia setelah tahun 1699, membuat pemerintah Belanda semakin gencar membudidayakan kopi. Penanaman kopi diperluas hingga ke Sumatera, Sulawesi, Bali dan daerah timur lainnya. Akan tetapi, tidak selamanya kesuksesan berpihak pada kita. Pada tahun 1878, terjadi kerusakan pada tanaman kopi, terutama kopi-kopi yang ditanam di dataran rendah. Tanaman kopi tersebut terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Penyakit ini menyebabkan daun kopi mengalami kerusakan parah sehingga menghambat proses fotosintesis tanaman. Akibatnya, hasil panen tidak maksimal bahkan cenderung merosot secara drastis.
Untuk mengatasi itu, Belanda mendatangkan kopi jenis liberika yang tahan terhadap penyakit karat daun. Namun ternyata, nasibnya sama saja. Kopi liberika juga terserang karat daun dan habis. Kemudian, dilakukan penelitian-penelitian demi mendapatkan kopi yang tahan terhadap penykit karat daun dan dapat tumbuh di dataran rendah. Dari penelitian tersebut lahirlah kopi robusta, yang terbukti mampu bertahan sampai saat ini.[3]
Indonesia, atas nama Belanda, memang pernah menyadang predikat pengekspor kopi terbesar di dunia. Namun, pada tahun 1830-an, predikat itu bergeser ke negara Brasil. Menurut data yang dilansir dari Worldatlas.com dan International Coffee Organization, Brasil masih memegang predikat negara pengekspor kopi terbesar hingga tahun 2015. Sementara itu, negara India, yang merupakan negara pertama yang berhasil membudidayakan kopi di luar negara Arab, hanya menempati posisi ke-6, padahal sebesar 80% hasil produksi diekspor ke Eropa dan Rusia. Hal ini berkaitan dengan daya tarik kopi bagi penduduk lokal. Sebagian besar penduduk India lebih menikmati teh dibandingkan kopi sehingga kebun kopi di India tidak begitu banyak. Ditambah lagi kopi di India senasib dengan Indonesia. Kopi India yang awalnya adalah kopi arabika berubah menjadi kopi robusta karena serangan penyakit karat daun, sehingga produksinya pun ikut menurun.
Lalu, apa kabar dengan Ethiopia, sebagai negara asal kopi? Ternyata, Ethiopia hanya menduduki posisi ke-5 sebagai pengekspor kopi dunia. Pada tahun 2015, produksi kopi Ethiopia menurun 384 ribu ton biji kopi, padahal tahun sebelumnya produksi biji kopi mencapai 397,5 ribu ton biji.[4]
Indonesia sendiri mencoba bertahan dalam perlombaan memenangkan predikat negara pengekspor kopi terbesar. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-4, menurun satu tingkat dari tahun 2009-2011. Posisi ketiga tersebut direbut oleh negara Kolumbia pada tahun 2015, sampai sekarang.
Ada dua kemungkinan mengapa Indonesia kalah dari Kolumbia. Pertama, negara Kolumbia terus meningkatkan produksi kopinya sehingga melejit dan mengalahkan Indonesia. Kedua, peningkatan produksi kopi di Indonesia dibarengi dengan penurunan luas areal tanam yang dipengaruhi oleh alih fungsi lahan atau serangan penyakit. Dengan demikian, tingginya produksi per luas areal tanam tidak mempengaruhi secara nyata peningkatan produktivitasnya. Namun, ini masih berupa hipotesis penulis melihat kenyataan mengenai alih fungsi lahan perkebunan di Indonesia.

Menurut GAEKI (Gabungan Eksportik Kopi Indonesia), kopi di Indonesia terdiri dari 83% jenis kopi robusta dan 17% jenis arabika. Sementara, kopi arabika yang ditanam di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, menjadi kopi paling populer di dunia. Permintaannya mencapai 30.000-40.000 ton per tahun![5]
International Coffee Organization (ICO, 2015)[6] memperkirakan bahwa pertumbuhan konsumsi kopi global dari tahun 2005-2015 meningkat sebesar 35.5%. Kopi menjadi salah satu menu utama dalam setiap pertemuan, seperti yang terjadi pada masa kekhalifahan Turki Utsmani. Namun, saat ini kopi tidak hanya disuguhkan dalam pertemuan formal, tetapi juga dalam pertemuan informal. Banyak anak-anak muda yang mengonsumsi kopi di waktu senggang, sambil nongkrong bersama teman. Hal ini juga didukung dengan menjamurnya warung-warung kopi kekinian dengan olahan kopi beragam rupa dan interior warung yang menarik dan nyaman.
Sejarah panjang tentang persebaran kopi ini menimbulkan satu pertanyaan baru. Apa yang menarik dari kopi sehingga ia menjadi begitu populer dan tersebar di seluruh dunia? Apakah aroma, rasa atau filosofinya? Atau, perpaduan dari ketiganya? Jawabannya beraneka ragam tergantung penikmatnya. Namun, ada satu kesamaan yang tidak bisa dimungkiri penikmat kopi, yakni kegunaan kopi sebagai penghilang rasa kantuk.
Jika kita baca kembali sejarah penemuan kopi, seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, kita akan menemukan cerita bahwa kopi pada mulanya dikonsumsi oleh para sufi atau peziarah. Mereka mengonsumsi kopi ketika ingin berdoa sepanjang malam karena kopi memang dipercaya dapat mengusir kantuk.

Penelitian-penelitian pun dilakukan demi mendapatkan jawaban secara ilmiah. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa kopi mengandung kafein yang memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis untuk menstimulasi susunan syaraf pusat dan relaksasi otot, termasuk otot jantung. Stimulai yang terjadi pada syaraf dan otot ini dapat meningkatkan daya kerja tubuh dan membuat seseorang menjadi hiperaktif dan tidak mudah lelah. Itulah sebabnya, kopi mampu mengusir rasa kantuk.
Namun, mengonsumsi kopi secara berlebihan juga memberikan efek negatif pada tubuh. Kafein akan menumpuk dan terus menerus menstimulasi syaraf dan otot. Akibatnya, kita akan mengalami insomnia dan perasaan gelisah. Over dosis kafein bahkan mampu mengganggu pernafasan. Kandungan asam organik pada kopi juga dapat mengganggu pencernaan, terutama lambung.[7] Oleh karena itu, jangan heran jika mengalami insomnia atau sakit mag setelah mengonsumsi kopi secara berlebihan.
Kandungan kafein dan asam organik pada kopi berbeda-beda, tergantung jenis kopi dan kondisi geografis tempat biji kopi itu ditanam. Kopi yang ditanam di Sumatera akan memiliki kandungan yang berbeda dengan kopi yang ditanam di Jawa, meskipun jenisnya sama-sama arabika. Namun, perbedaan kandungan yang mencolok tentu dapat dilihat berdasarkan perbedaan jenis kopi. Hasil penelitian Aditya pada tahun 2015 menyatakan bahwa kopi bubuk arabika memiliki kandungan kafein dan asam organik yang lebih rendah dibandingkan kopi robusta, sehingga baik untuk pecandu kopi yang mempunyai masalah asam lambung.[8] Kedua kopi ini juga memiliki cita rasa yang berbeda. Bagi sebagian pecinta kopi, cita rasa kopi arabika lebih enak daripada kopi robusta.

Selain jenis kopi, rasa, kegunaan dan sejarahnya yang menarik, suguhan kopi yang kreatif juga menjadi salah satu faktor pendukung mengapa warung kopi digandurungi anak-anak muda zaman sekarang. Ditambah lagi dengan adanya seni melukis pada minuman kopi yang dikenal dengan istilah Latte Art. Bagaimana kopi bisa menuliskan cerita-cerita baru dan menyatukan banyak orang, juga bisa menjadi salah satu alasannya.
Lalu kamu? Apa alasanmu menyukai kopi?
[REFERENSI]
[1] Coffee Legends. Turkish Style Coffee. (Diakses di http://www.turkishstylegroundcoffee.com/coffee-history/coffee-legends/ pada 18 April 2019)
[2] Ukers, William H. 1992. “All About Coffee”. The Tea and Coffee Trade Journal Company. New York. (diakses di http://cluesheet.com/ pada 18 April 2019)
[3] Teggia, Gabriella and Mark Hanusz. 2003. A Cup of Java. Equinox Publishing. Jakarta-Singapore. 144 hlm.
[4] Top Coffee Producing Countries. https://www.worldatlas.com/articles/top-coffee-producing-countries.html. Di akses tanggal 18 April 2019
[5] GAEKI. 2017. Areal dan produksi. Gabungan Eksportir Kopi Indonesia. Jakarta (http://gaeki.or.id/areal-dan-produksi/ Diakses tanggal 18 April 2019)
[6] ICO. 2015. http://www.ico.org/trade_statistics.asp?section=Statistics
[7] RK. Maramis, Citraningtyas G, dan Wehantouw F. 2013. Analisis Kafein Dalam Kopi Bubuk di Kota Manado Meggunakan Spektrofotometri UV-Vis. Jurnal Ilmiah Farmasi (2): 04
[8] I.W. Aditya. 2015. Kajian kandungan kafein kopi bubuk, nilai pH, dan karakteristik aroma dan rasa seduhan kopi jantan (pea berry coffee) dan betina (flat beans coffee) jenis arabika dan robusta. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol. 5 hal. 15.