Setelah lebih dari sepuluh hari waktuku terbuang karena sakit, akhirnya hari Minggu lalu, 14 Mei 2017, aku bisa merealisasikan rencana yang sudah kurancang bersama Kak Ipeh jauh-jauh hari. Seperti biasa, setiap hari Minggu rutinitasku adalah membuat dadar gulung untuk dijual di dua konter langganan.[1]
Di saat menggulung-gulung inti (bahan isian) ke dalam kulit dadar, Kak Ipeh pun berkata padaku bahwa ia ingin mengajakku pergi ke Car Free Day (CFD) seusai mengantar kue. “Ada komunitas yang buka lapak baca di sana,” katanya. Seketika, aku pun jadi ingat, bahwa sudah sejak berminggu lalu ia mengajakku ke CFD untuk bertemu dengan komunitas yang dimaksud, tapi selalu gagal karena berbagai hal.
Aku mengiyakan ajakannya berhubung aku punya banyak waktu luang di rumah. Mengikuti CFD bisa sedikit menghilangkan rasa bosan. Maka, segera setelah selesai menggulung-gulung dadar, menaiki motor (aku yang mengemudi) kami pun berangkat mengantar kue ke Toko Berkah yang terletak di Jalan Patimura, dan Konter Kue di Jalan Harapan Raya.
Minggu pagi kali itu sebenarnya terasa berbeda dari minggu-minggu pagi sebelumnya meskipun rutinitas kami sama: mengantar kue, singgah ke pasar, berburu jajanan sarapan. Usai mengantar kue, sebelum ke lokasi CFD, kami menyempatkan diri mampir ke pasar untuk membeli kelapa parut khusus untuk bahan kue berikutnya. Singkat cerita, roda motorku akhirnya mengarah ke kedai lontong Mak Angah yang terletak di Jalan Nanas. Itulah kedai lontong langganan keluarga kami.
Dalam perjalanan pulang: “Lewat Masjid saja kita, Dek!” seru Ka Ipeh. “Biar bisa lihat acara anak MDA khatam Qur’an…” Seide dengannya, sebenarnya aku juga sudah berniat untuk melalui Gang Tanjung (kini namanya sudah berubah menjadi Jalan Tanjung) untuk melihat dan merekam pawai khatam Al-qur’an yang diadakan oleh MDTA Ar-Rahim.[2] Motor kami kemudian berjalan pelan dan santai ke arah Masjid Ar-Rahim yang letaknya tak jauh dari kedai lontong Mak Angah.
Setibanya di Masjid Ar-Rahim yang bersebelahan dengan gedung MDTA Ar-Rahim, aku melihat cukup ramai orang. Ada anak-anak yang berpakaian khas khatam Qur’an. Sudah bisa dipastikan mereka adalah anak-anak kelas empat, alias siswa tingkat akhir. Sementara itu, beberapa orang berpakaian tradisional melayu, mungkin mereka adalah anak-anak yang duduk di kelas tiga. Selebihnya berpakaian MDTA, putih-dongker, dan berbadan kecil-kecil. Aku yakin mereka adalah anak-anak kelas satu dan dua. Ada juga serombongan pemain marching band yang aku tak tahu dari mana asal sekolahnya. Serombongan lainnya, yang berpakaian serba putih, adalah ibu-bapak wali murid peserta khatam Qur’an, serta perangkat dan pemuda RW 03 Kelurahan Jadirejo, Kecamatan Sukajadi Pekanbaru.
Persiapan pawai lumayan lama, karena harus menunggu Ibu Lurah. Beliau diamanahi untuk memberi kata sambutan dan pelepasan pawai Khatam Quran MDTA Ar-Rahim. Setelah beliau datang, tidak lama kemudian pawai pun dimulai. Dengan diiringi permainan marching band, peserta pawai menjadi benar-benar menarik perhatian. Ditambah pula suara serene motor Pak Polisi, yang seperti menimbulkan tanya bagi pengendara lainnya. “Ada apa…?” kira-kira begitu mungkin di benak orang-orang yang lewat.
Aku dan Kak Ipeh tidak ikut mengiringi pawai karena perut kami sudah terlalu keroncongan. Padahal sebenarnya, rute pawai tidak terlalu jauh, namun kami tetap memilih pulang dan menunggu peserta pawai lewat di depan rumah. Dan betul saja, sekitar setengah jam kemudian, tepat sebelum aku dan Kak Ipeh berangkat CFD, suara marching band terdengar di kejauhan. Aku segera berlari ke depan rumah untuk mengabadikan mereka dalam bingkai kamera.
Rencana main ke lokasi CFD pagi itu tetap terlaksana. Seusai merekam pawai, aku segera mengambil motor dan kami berdua pun melaju ke arah lokasi CFD. Lokasi CFD di Pekanbaru sebenarnya ada beberapa titik, tapi yang kutahu hanya tiga, yakni di pusat kota di Jalan Diponegoro dan di Lapangan Masjid Agung Annur, lalu di Lapangan Rumbai arah ke Universitas Lancang Kuning Riau. Pagi itu, aku dan Kak Ipeh pergi ke Jalan Diponegoro (orang-orang biasa menyingkat namanya menjadi “Dipo”) dan Masjid Agung Annur (Annur) yang lokasinya berdekatan. Dua titik itu pun kami pilih karena jaraknya tak begitu jauh dengan rumah kami jika dibandingkan dengan Rumbai.
Sebelumnya, aku selalu kesal setiap melihat pengendara motor dan mobil yang datang ke area CFD. Ironis saja rasanya jika membawa kendaraan saat event bebas kendaraan. Betapa bodohnya, pagi itu aku justru melakukan hal yang sering kuumpati itu. Sedih dan malas bercampur aduk, tetapi “apa boleh buat” menjadi alasan klasik yang tak bisa kuelakkan sendiri. Maka, di sanalah pada pagi yang mulai terik itu, kami berdua sibuk mencari ruang untuk memarkir motor.
Tanpa ba-bi-bu, aku dan Kak Ipeh langsung menuju lokasi yang “katanya” menjadi spot si komunitas itu membuka lapak bacanya. Tapi ternyata, kami tak menemukan satu lapak pun. Tidak ada lapak buku, tidak ada tanda-tanda komunitas dengan buku-buku, sejauh apa pun mata memandang. Aku dan Kak Ipeh sempat mengitari Dipo, mencari kemungkinan-kemungkinan lain, namun apa yang dicari tak jua kami temukan. Tak lama kemudian kami akhirnya memutuskan balik arah, kembali ke parkiran motor, lantas menggas motor melaju ke daerah Annur.
Ke Annur, kami menjemput harapan. Lapak buku memang menjadi “bahan” kami untuk hari itu. Seberapa banyak lapak buku yang tersebar di area publik sejenis CFD, mungkin bisa menjadi alat ukur besarnya “minat baca” atau sekadar ketertarikan publik terhadap keberadaan buku. Pelaku yang menyediakan lapak buku pun menjadi “incaran” kami. Untuk apa, sih kira-kira mereka membuka lapak buku?
Saat kami tiba di sana, Pustaka Keliling (Pusteling) sudah berdiri dan riuh dikelilingi bocah-bocah kecil. Bersama para orangtua, mereka ‘membaca’ buku. Ada yang masih sibuk memilih-milih buku mana yang menarik…, sampul depannya. Ada pula yang mengantri dengan manis, menunggu giliran mengisi data pengunjung. Ada yang hanya melihat anak lainnya duduk bersama ibunya, menguji kemampuan diri mengenal huruf dan angka. Ada juga yang tampak semata ikut-ikutan kakaknya saja.
Pemandangan di lapangan parkir Masjid Agung Annur pagi itu cukup membuatku tersenyum. Segera kukeluarkan telepon selulerku, dan merekam kegiatan pagi itu. Kak Ipeh sudah duduk manis bersama kakak-kakak penjaga Pusteling, yang salah satunya adalah teman Kak Ipeh. Mereka berbincang-bincang tentang keberadaan Pusteling dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Pekanbaru. Tak lama kemudian, aku pun ikut nimbrung bersama mereka, menyimak percakapan dan sesekali ikut menimpali.
***
Pustaka Keliling atau biasa disebut Pusteling merupakan sebuah mobil yang berisi penuh dengan buku. Mobil-mobil ini membawa buku-buku menuju tempat-tempat yang sekiranya sulit menjangkau perpustakaan umum seperti DPK atau Perpustakaan Provinsi Riau, Soeman HS. Sekolah-sekolah di pinggiran kota Pekanbaru dan lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus anak dan wanita menjadi tujuan rutin mobil Pusteling. Pada hari kerja, secara bergantian, Pusteling yang terdiri dari lima mobil, berkeliling ke sekolah-sekolah dan lapas.
Mobil-mobil ini juga menjangkau areal publik seperti areal CFD. Biasanya, di areal CFD tersebut Pusteling beroperasi setiap Minggu pagi dan sore.
Berbeda dengan Perpustakaan Pusat Daerah yang menyediakan buku dari berbagai disiplin dan untuk berbagai kalangan, Pusteling lebih banyak menyediakan buku khusus untuk anak-anak. Target mereka memang anak-anak usia SD ke bawah. Menurut Kak Ade, salah satu penjaga Pusteling, memilih anak-anak usia SD ke bawah sebagai target Program Pusteling dinilai tepat. Sebab, menurutnya, pendidikan literasi memang sebaiknya ditanamkan sejak kecil. Tidak masalah jika pengunjung yang datang adalah anak-anak yang hanya ingin melihat-lihat gambar. Yang menjadi penilaian mereka adalah bagaimana minat anak-anak tersebut terhadap buku. Jika kedatangan mereka ke Pusteling atas keinginan sendiri, itu artinya mereka termasuk aset berharga yang harus dijaga dan dibina. Orang tua mereka adalah salah satu akar yang mesti dipupuki pengetahuan literasi.
Selain itu, alasan memilih anak-anak sebagai target Pusteling rupanya juga dipengaruhi oleh hasil survei di masa-masa awal pengaktifan Pusteling. Kata Kak Ade, minat remaja dan dewasa terhadap Pusteling kalah besar dibandingkan anak-anak. Dalam sehari, bahkan pernah tidak ada remaja yang datang walaupun sekadar untuk melihat-lihat. Akhirnya, Pusteling memperbanyak buku anak-anak tanpa mengurangi buku untuk remaja dan dewasa, dengan harapan bahwa lambat laun akan tumbuh ketertarikan mereka sehingga bisa terniat di dalam diri mereka untuk membaca bersama di area-area baca yang disediakan Pusteling.
Kak Ade juga menyampaikan beberapa informasi menarik. Pusteling adalah perpustakaan fleksibel yang bisa datang ke sebuah acara. Komunitas, organisasi, atau instansi pemerintahan yang ingin menyediakan spot membaca dalam acara mereka, bisa mengirim surat kerja sama ke DPK Kota Pekanbaru. Selanjutnya, Pusteling akan hadir mengisi spot untuk area membaca, memberikan edukasi literasi, dan kegiatan sejenis lainnya.
Sayangnya, sefleksibel apa pun Pusteling ini, dia tetap tak bisa menjangkau desa-desa terpencil dalam cakulan Riau. Sebab, menurut Kak Ade, setiap daerah kota dan kabupaten memiliki dinas perpustakaannya sendiri. DPK Kota Pekanbaru tidak punyak hak untuk datang begitu saja ke daerah-daerah terpencil tersebut. Yang lebih disayangkan, sejauh pengetahuanku (dan yang biasa diduga umum), dinas perpustakaan di kebanyakan desa terkadang belum berjalan maksimal. Selain karena kekurangan buku dan fasilitas lainnya, “minimnya minat baca buku masyarakat di daerah” sering kali menjadi dalih para pengelola perpustakaan untuk memaklumi ketidakmaksimalan kerja mereka.
Namun demikian, informasi dari Kak Ade juga menyebutkan bahwa beberapa daerah di Riau selain Pekanbaru, seperti Bangkinang dan Siak, misalnya, sudah memiliki Pusteling. Hanya saja, Pusteling mereka dioperasikan dengan sepeda motor. Hal serupa pernah kudengar ada di daerah Depok dan Jakarta. Pelakunya, si pengendara motor pustaka itu, adalah teman kampusku sendiri. Apa pun bentuknya, upaya-upaya semacam itu selalu menjadi kabar yang membahagiakan, tentunya.
***
Tanpa kami sadari, waktu itu sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Hari sudah semakin terik, pegiat keramaian CFD di Annur juga sudah banyak yang pulang. Dengan sendirinya, pengunjung Pusteling pun perlahan ikut berkurang. Bang Salman, salah satu pegiat Pusteling, mulai merapikan kursi dan meja baca, dibantu oleh seorang lagi teman mereka. Melihat hal itu, aku dan Kak Ipeh pun undur diri dari Kak Ade dan teman-temannya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami beranjak pergi. Namun, tiba-tiba aku terhenti. Muncul dalam pikiranku, sayang sekali jika kami tidak berinteraksi dengan ‘para korban’ Pusteling ini. Maka sambil berjalan, aku berbisik ke Kak Ipeh, mengajaknya untuk setidaknya mengajak berbincang satu orang tua saja.
Kami pun putar balik dan mendekati salah seorang ibu yang masih duduk bersama dua anaknya. Dari obrolan, kami tahu bahwa ibu dua anak itu mengunjungi Pusteling di area Annur untuk yang pertama kalinya. Itu pun bisa terjadi karena permintaan anak sulungnya yang baru berusia lima tahun. Sebelumnya, si ibu itu—sayangnya, aku lupa menanyakan namanya—pernah mengajak anak-anaknya ke Perpustakaan Soeman H. S. Ibu itu mengaku bahwa anak-anaknya senang ke perpustakaan daerah itu karena adanya fasilitas ruang khusus anak-anak, tempat disediakannya banyak buku anak-anak dan sekaligus tempat bermain. Kedua anaknya saat itu belum sadar bahwa tempat yang sering mereka kunjungi adalah sebuah perpustakaan, aku si ibu.
Ibu itu juga bercerita tentang anak bungsunya yang berusia dua tahun, yang memiliki ketertarikan unik terhadap buku. Awalnya, karena mengikuti kakaknya yang sudah mulai belajar membaca huruf, lama-kelamaan, si Bungsu justru seperti mencintai buku. Kata ibunya, si Bungsu senang melihat-lihat bukunya sebelum tidur. Ia baru akan mau tidur jika sudah ‘membaca’ buku. Aku pun terpana mendengar cerita ibu tersebut.
Usai berbincang dengan beliau, aku mencoba mencari “mangsa” lain untuk diajak berbincang. Namun sayang, sudah tak ada orang yang tersisa di area itu. Mereka begitu cepat pamit dan menghilang. Akhirnya, aku dan Kak Ipen memutuskan untuk pulang tanpa balik arah, siang itu. Kami memang harus segera pulang karena hari sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Tepat pukul sepuluh kami mau melakukan kegiatan Wiken Baca (kegiatan mingguan yang kami adakan dalam rangka menambah wawasan dalam mengelola Sayurankita). Kami tentunya sudah harus berada di rumah sebelum waktu yang ditentukan, karena barangkali ada teman yang datang untuk ikut serta membaca.
Kaki melangkah ke parkiran motor, sementara mata melirik jajanan-jajanan menggiurkan. Akhirnya aku dan Kak Ipeh memutuskan untuk ‘ngemil’ sejenak sebelum pulang.
Pukul sepuluh kurang, kami tiba di rumah. Sambil bersiap-siap menanti ‘siapa yang ikut kali ini’, kami memulai Wiken Baca berdua. Membaca koran yang masih riuh dengan isu segala isu yang tak ada habisnya. ***
Pekanbaru, 17 Mei 2017
Ade Surya Tawalapi
Catatan Kaki:
[1] Kami memang biasa membuat dua jenis kue: dadar gulung dan risoles jagung. Biasanya, kami menitipkan kue-kue itu di konter-konter kue dan toko kelontong setiap hari Senin sampai Sabtu. Menjual kue mungkin bisa disebut sebagai pekerjaan tetap kami, yang seringnya tidak kami anggap sebagai pekerjaan karena terlalu ringan untuk disebut sebagai sebuah pekerjaan. Membuat dan menjual kue, hanya kami anggap sebagai bagian dari kegiatan pengisi “masa liburan”. Karena adanya permintaan dadar gulung yang cukup tinggi, Kak Ipeh pun mengambil kebijakan untuk tetap membuat dadar gulung hari itu.
[2] MDA adalah singkatan dari Maddrasah Diniyah Awaliyah. Sekarang, MDA Ar-Rahim berganti nama menjadi MDTA Ar-Rahim. MDTA singkatan dari Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah.
Penyunting : Manshur Zikri (https://manshurzikri.wordpress.com/)