SETAHUN SUDAH berselang sejak terakhir kali aku menulis untuk program “Wiken Baca”. Sudah setahun juga rasanya, kegiatan membaca setiap hari Minggu itu, tidak kami laksanakan. Pasalnya, waktu itu kami masih gamang dengan kegiatan yang kami rasa hambar itu. Alhasil, kami memvakumkan Wiken Baca untuk sementara, sambil mencari cara bagaimana agar program yang tidak sengaja kami buat itu, bisa terasa nyaman dilakukan, terutama untuk kami sendiri.
Tidak kusangka, jawaban untuk pertanyaan “bagaimana” itu akan kudapatkan setahun kemudian. Tepatnya saat aku diutus menjadi partisipan dalam kegiatan “Bakureh Project” yang diinisiasi oleh Komunitas Gubuak Kopi, Solok. Waktu itu, aku dan teman-teman partisipan lainnya diajak membaca buku bersama-sama, lalu mendiskusikan apa yang kami pahami dari bacaan tersebut. Di sini aku merasa teknik umum membaca bersama yang dilakukan di Gubuak Kopi tidak ada bedanya dengan yang kami lakukan dulu di Wiken Baca. Tapi, pada dasarnya, aku merasa ada yang beda.
Saat di Wiken Baca, kegiatan membaca dilakukan oleh aku dan kakakku (Di hari pertama Wiken Baca, kami membaca bertiga, bersama salah seorang teman Sayurankita, Ibed Tom. Selanjutnya, hanya aku dan Kakak). Kami membaca secara bergantian. Yang kami baca waktu itu adalah koran. Lokasi membacanya tidak pasti, bisa di kamar atau di ruang makan. Saat yang satu membaca, yang lainnya tidak seutuhnya fokus menyimak, karena merasa harus mengaktifkan ponsel untuk dokumentasi. Pada akhirnya, hasil bacaan tidak bisa kami diskusikan secara maksimal. Terlebih lagi saat pesertanya hanya aku dan kakak. Rasanya aneh berdiskusi serius bersama kakak sendiri.
Sementara saat di Gubuak Kopi, peserta yang membaca cukup banyak. Tentu saja, karena partisipan “Bakureh Project” ditambah fasilitatornya saja sudah berjumlah 15 orang. Kami membaca dua Bab saja waktu itu, secara bergantian. Lokasinya waktu itu di ruang diskusi, yang lengkap dengan meja panjang dan kursi. Kami duduk mengitari meja panjang tersebut, dan membaca secara bergiliran. Saat itu tetap ada dokumentasi, tapi caranya lebih cerdas dibandingkan aku dan kakak. Teman-teman Gubuak Kopi memanfaatkan tripod, ponsel dan selotip untuk mendokumentasikan. Ponsel direkatkan pada tripod, lalu fitur live aplikasi intragram diaktifkan. Kegiatan membaca hari itu pun terdokumentasikan tanpa harus memecah fokus para peserta membaca. Alhasil, saat mendiskusikan hasil bacaan, hampir semuanya dapat menyampaikan pendapat dan pemikirannya masing-masing. Kegiatan membaca menjadi menyenangkan.
Teknik membaca bersamanya memang tidak beda, tapi dari situasinya, sama sekali berbeda, ‘kan? Aku pun merasa, Wiken Baca yang kami lakukan, menjadi bosan dan menjemukan murni karena kekurangan orang. Aku bahkan sempat yakin bahwa yang harus kami lakukan untuk mengaktifkan Wiken Baca itu kembali adalah mencari lebih banyak orang yang berminat untuk membaca bersama. Aku sudah memikirkan ini sejak awal, tapi tetap nekat mengajak Kakak untuk membuat program Wiken Baca. Sampai pada detik membaca bersama pertama kali di Gubuak Kopi itu, keyakinan itu menjadi bulat: Yang salah bukan teknik membaca kami, tapi situasi membaca yang kami rasa tidak kondusif.
Sampai pada suatu hari di pertengahan bulan Juni 2018. Aku sedang asyik berbaring di atas kasur di rumahku waktu itu, menikmati masa-masa libur proyek “Bakureh Project”. Lalu tanpa sengaja, aku melihat salah seorang anggota Gubuak Kopi sedang asyik membaca buku sendiri dengan suara lantang, dari balik layar ponselku. Delva namanya (Delva adalah ketua proyek “Bakureh Project”. Sejak awal, aku memang senang memperhatikannya. Aku juga belajar banyak darinya. Diam-diam, aku jadi penggemarnya). Dia sedang mengaktifkan fitur live di instagramnya. Dengan latar kamarnya yang bercat merah muda, Delva dengan cuek merekam aktivitas membacanya melalui fitur live instagram tersebut. Delva sedang mambaca buku Ayu Utami yang berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang, sendirian.
Aku langsung tertegun. Tentu, aku semakin mengagumi perempuan pemberani yang penuh percaya diri itu. Tapi bukan itu bagian terpentingnya. Yang menjadi poin penting bagiku saat itu adalah aktivitas Delva memberi inspirasi baru untuk program Sayurankita yang sudah kami lupakan itu. Ya, dari cara Delva menikmati bacaannya itu, aku terdorong untuk mengaktifkan kembali Wiken Baca!
Sebenarnya, program Wiken Baca sudah mulai diaktifkan kakakku beberapa minggu sebelumnya. Hanya saja, program itu baru bisa dijalankannya sendiri dengan cara yang berbeda dengan Wiken Baca yang kami lakukan sebelumnya. Kakak membaca buku sendiri, di ruang kerjanya, lalu membagikan hasil bacaannya ke instagram Sayurankita, berupa ulasan buku atau bab yang sudah selesai ia baca. Saat melihat cara Delva membaca buku ini, aku merasa cara tersebut cocok untuk kami terapkan. Aku pun segera menyampaikan ide segarku tersebut kepada Kakak, yang langsung disetujuinya. Tanpa menunggu lebih lama, Kakak langsung menyodorkan sederet buku, yang kemungkinan bisa kami baca bersama-sama. Wiken Baca pun benar-benar kami aktifkan, dengan cara dan nama yang berbeda.
***
PEKANBACA SAYURANKITA, kami menyebutnya. Program membaca mingguan kami resmi berganti nama. Nama yang saat ini, kupikir, lebih serius dari sebelumnya. Menggambarkan betapa kami juga sudah mulai serius untuk menekuni Sayurankita dan program-programnya. Maknanya mungkin sama saja, wiken (weekend) dan pekan. Tapi, dengan meluruskan bahasanya, kesannya pun akan lebih lurus, ‘kan?
Uji coba Pekanbaca Sayurankita berlangsung selama bulan Juli 2018. Untuk saat ini, karena aku masih bertugas di Solok, maka Kakak masih harus membaca sendiri, mungkin di ruang kerjanya atau di kebun. Atau bisa jadi di ruang makan atau di ruang tamu. Tapi yang jelas, Kakak tidak lagi membaca dalam hati dengan suasana hening atau dengan alunan musik, melainkan dengan ponsel aktif yang merekam secara langsung proses membacanya, di instagram.

Berkat teknik membaca si Delva ini, aku bisa memantau perkembangan Pekanbaca Sayurankita di instagram. Aku jadi tahu, bahwa di minggu pertama Pekanbaca Sayurankita, tepatnya hari Minggu tanggal 1 Juli 2018 lalu, Kakak tidak membaca sendiri. Ada seorang teman yang tertarik ikut membaca bersama. Pekanbaca waktu itu pun tidak sekedar membaca saja, melainkan juga mendiskusikan hasil membaca-menyimak hari itu. Di minggu kedua, aku melihat Kakak berjuang menyelesaikan buku pertama dalam list Pekanbaca Sayurankita edisi Juli, sendirian. Sementara di minggu ketiga, kami justru kedatangan rekan komunitas, yang bersedia membaca bersama-sama. Kegiatan membaca bersama rekan komunitas tersebut diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Juli 2018. Sementara pada hari Minggunya, 15 Juli 2018, kegiatan rutin Pekanbaca Sayurankita, tetap dilaksanakan, kembali dengan Kakak sebagai pemeran utama dan satu-satunya.
Meski baru tiga kali, aku merasa sangat positif dengan program ini. Terlebih lagi pada minggu keempat nanti, tepatnya Minggu tanggal 22 Juli 2018, buku yang akan dibaca dalam Pekanbaca Sayurankita, juga ada di Gubuak Kopi. Aku berencana akan membaca bersama Kakak, dihubungkan oleh fitur live instagram tersebut. Harapannya, semoga saja teman-teman Gubuak Kopi lainnya tidak begitu sibuk sehingga bisa ikut bergabung. Begitu juga teman-teman di penjuru Indonesia, yang sudah memiliki buku Sore Kelabu di Selatan Singkarak, buku pertama Albert Rahman Putra, pendiri Komunitas Gubuak Kopi yang sedang mendidikku sekarang ini. ***
One thought on “Angin Segar di Bulan Juni”