Penulis: Martini Supiana (anggota Yayasan Pasirputih)
Penyunting: Tim Sayurankita
HARI INI, 6 MEI 2019, adalah hari pertama bagi umat muslim menjalankan ibadah puasa. Tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, para ibu rumah tangga tentunya akan sedikit disibukkan dengan menu berbuka. Mulai dari lauk, minuman dan makanan buka lainnya. Begitu pula dengan saya hari ini.
Seperti yang saya rencanakan tadi malam, pagi ini saya memilih untuk berjalan kaki menuju Pasar Pemenang untuk membeli tahu, kangkung, ikan, bawang putih dan bawang merah. Lokasi Pasar Pemenang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Hanya butuh waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki, melewati lahan-lahan sawah yang sudah lama tidak ditanami padi atau tanaman lainnya. Sesekali lahan itu menjadi tempat bermain bola. Lokasi Pasar Pemenang ini baru saja dipindah awal tahun lalu dari lokasi pasar lama, yakni dari tikungan Pemenang dekat masjid ke lapangan Guntur Muda. Lokasi lama Pasar Pemenang itu sebenarnya berada di jalan utama Pemenang, sehingga selalu menimbulkan kemacetan setiap pagi. Sementara lokasi baru Pasar Pemenang, yakni lapangan Guntur Muda, sedikit lebih menjorok ke dalam. Sebelumnya, lapangan ini merupakan tempat bermain bola bagi warga Pemenang.
Bukan pasar kalau tidak ramai. Ya! Kami sempat kesulitan untuk masuk ke dalam halaman pasar. Ternyata, pemindahan pasar ini tidak menyebabkan pasar bebas macet. Jalanan yang kurang lebar adalah salah satu penyebab kemacetan. Bagaimana tidak, ada beberapa cidomo [1], mini bus (keri) dan sepeda motor yang keluar masuk dari satu pintu gerbang. Ada yang memang datang ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur, ada yang datang untuk menjual kembali, ada juga yang datang untuk membawa barang-barang pesanan ke tiga Gili, dan ada juga mobil-mobil atau cidomo yang mengantarkan barang. Jalanan padat merayap. Perlu kesabaran untuk melewati gerbang pasar ini.

Setelah sedikit berdesak-desakan di jalur masuk pasar, akhirnya saya bisa masuk juga ke dalam pasar. Langkah pertama saya tertuju pada pedagang kangkung. Posisinya tidak jauh dari parkir dan tidak begitu ramai. Tidak perlu berdesak-desakan. Harga kangkung hari ini menurut saya terbilang cukup mahal. Empat ikat seharga lima ribu rupiah, padahal hari biasa saya dapat memperoleh 5 ikat kangkung dengan uang lima ribu itu. Kangkung yang dijual di pasar ini adalah kangkung rawa, yang batangnya besar dan daunnya lebar. Berbeda dengan kangkung darat yang ukurannya kecil. Kangkung ini biasa kami olah menjadi pelecing kangkung, makanan khas Lombok.
Dari penjual kangkung, saya melanjutkan langkah ke pedagang gula merah. Saya terkejut dengan harga si merah pemanis kolak ini. Satu biji gula merah ukuran gelas kecil dijual seharga enam belas ribu. Menurut saya, harganya terlalu mahal. Biasanya, saya dapat membeli gula merah yang berukuran kecil itu dengan harga paling mahal dua belas ribu. Gila, kan! Kalau dalam satu bulan kita makan kolak sebagai menu utama buka puasa, bisa menghabiskan berapa ratus ribu? Sementara, kolak adalah menu yang mungkin bagi sebagian orang adalah menu wajib buka puasa.

Setelah dikejutkan oleh harga gula merah, saya melanjutkan perjalanan mencari bumbu dapur lainnya. Saya pindah ke pedagang bawang. Dengan santainya saya pesan bawang merah dan bawang putih ke ibu pedagang.
“Bu, saya mau beli bawang merahnya lima ribu, bawang putihnya tiga ribu, ya.”
“Mbak, sekarang bawang putih harganya lima ribu satu jalu,” jawab si Ibu Pedagang. Satu jalu itu sama dengan satu buah atau satu bonggol.
Ya, saya kaget, dong! Karena sebelumnya, saya masih bisa membeli bawang putih dicampur bawang merah dengan harga lima ribu rupiah!
Sepulang dari pasar saya bertanya-tanya dalam hati. Mengapa harga bahan-bahan makanan menjadi lebih mahal? Terutama si bawang putih. Kenapa harga bawang putih jadi mahal sekali?!***
[CATATAN]
[1] Cidomo adalah salah satu kendaraan di Gili Meno, yang diangkut oleh kuda dengan roda yang terbuat dari ban motor (roda motor). Baca selengkapnya dalam artikel karya Afifah Farida Jufri, Cidomo: Alat Transportasi Di Gili Meno.