Penulis: Afifah Farida
Penyunting: Manshur Zikri
Catatan Tentang Pameran “Presentasi Publik Aksara Tani Gili Meno” (13-14 Januari 2018)
Pilot project Aksara Tani yang sudah berjalan hampir lima bulan, terhitung dari bulan September 2017 (pra-riset), lalu dimulai secara resmi sejak Oktober 2017 dan berjalan hingga tengah Januari 2018, banyak memperoleh masukan, temuan, bahkan kritikan, baik dari warga Gili Meno maupun teman-teman yang berada di luar Gili Meno. Pertanyaan tentang budaya bertani atau bercocok tanam di Gili Meno sering terlontar dari teman-teman. Apakah ada keterkaiatan antara bertani dengan pulau yang terkenal dengan garamnya…? Apakah tanaman bisa tumbuh di cuaca yang panas ini, bahkan pohon-pohon saja tidak jarang yang mati ketika musim kemarau…? Apakah warga Gili Meno tertarik melakukan kegiatan menanam jika pariwisata memberikan uang yang lebih banyak dan nyata…? Apakah pilot project ini penting dilakukan di Gili Meno…? Bahkan, pertanyaan: Untuk siapa proyek ini dan apa untungnya bagi warga Gili Meno…?
Proyek site-specific Aksara Tani sejatinya dilakukan dalam waktu 3,5 bulan. Itu bukanlah waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam atau memberikan keuntungan yang dapat dinilai secara materi kepada warga. Namun, dalam waktu 3,5 bulan yang cukup singkat itu, Aksara Tani menemukan banyak informasi, pengetahuan-pengetahuan kecil, dan potongan-potongan memori yang menarik dari warga Gili Meno untuk dibagikan ke warga pada umumnya, dan warga Gili Meno sendiri khususnya. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menyebarluaskan informasi yang diperoleh ke khalayak umum, maka pada tanggal 13-14 Januari 2018, Aksara Tani melaksanakan presentasi publik di Gili Meno, dalam bentuk pameran yang dikemas lewat pendekatan “seni media”. Presentasi publik ini bukanlah akhir dari proyek tersebut, justru sebagai langkah awal dalam merangkum dan memetakan temuan-temuan tersebut untuk dapat melanjutkan kegiatan ini sebagaimana niat awal, menjadikan Aksara Tani sebagai proyek yang berkelanjutan.
Sebagai pilot project, kerja Aksara Tani tidak hanya fokus pada proses menanam (mengolah lahan), tetapi juga lebih menekankan kerja riset kolektif untuk memformulasikan pengetahuan tentang budaya pangan di Gili Meno. Selama prosesnya, Aksara Tani melakukan berbagai macam kegiatan yang melibatkan dan diinisiasi oleh warga, seperti menanam di halaman rumah warga, mengidentifikasi tanaman dan membuat herbarium, memasak bersama, berburu buah, mengangsat (mencari kerang ketika air surut), dan lainnya.
Dalam proses menanam di halaman rumah (dalam hal ini, ialah rumah singgah The This-kon milik pasangan suami-istri Imran dan Ace) di Gili Meno, Aksara Tani tidak hanya melihat bagaimana proses dan perkembangan tanaman yang ditanam, tetapi juga melihat bagaimana respon dan ketertarikan warga dengan kegiatan menanam itu sendiri, serta tanggapan warga terhadap isu-isu yang terkait dengan budaya menanam dan pangan. Selama proses yang dilalui tim Aksara Tani, ditemukan bahwa kegiatan menanam bukanlah hal yang baru bagi warga. Tidak sedikit warga Gili Meno yang memiliki hobi menanam di halaman rumah. Hal itu terlihat setelah beberapa minggu Aksara Tani berjalan, beberapa warga mulai mencoba menanam di halaman rumahnya masing-masing. Tidak hanya sampai di sana, warga juga terlihat antusias untuk saling bertukar informasi dan pengetahuan tentang metode menanam menggunakan sistem hidroponik sederhana atau vertikultur (tanaman yang disusun secara bertingkat) dengan menggunakan barang bekas, bahkan ketika melihat tanaman kangkung darat dan tanaman mint yang tumbuh baik di Gili Meno.
Dalam berproses bersama warga, Aksara Tani juga menemukan bagaimana strategi warga Gili Meno di masa dulu memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Gili Meno yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam di darat dan laut, menjadikan Gili Meno dahulunya mandiri pangan. Aksara Tani mencoba membawa kembali ingatan warga tentang bahan pangan yang dengan mudah mereka temukan sebelum pariwisata mulai berkembang di awal 1990-an, seperti buah-buahan dan sayuran lokal, ikan, dan sumber pangan laut lainnya. Cara menarik kembali memori-memori itu ialah dengan pengadaan sejumlah kegiatan, di antaranya berburu buah, mengidentifikasi tanaman, mengangsat, dan memasak bersama warga.
Warga, dalam hal ini anak-anak Gili Meno, menceritakan pengalamannya tentang buah-buahan yang masih bisa ditemukan di Gili Meno, yang bahkan buah-buahan tersebut sudah mulai jarang ditemukan di “pinggir” (di mainland, atau di pulau Lombok utama) atau di kota-kota lain. Dalam kegiatan berburu buah tersebut, anak-anak Gili Meno menemukan minimal 20 jenis buah yang dapat dimakan. Tidak hanya anak-anak, Aksara Tani juga menggali informasi dan mengajak warga untuk mengingat kembali tumbuhan-tumbuhan yang ada di Gili Meno melalui herbarium (tumbuhan yang dikeringkan). Dengan adanya herbarium tersebut, warga mulai menyadari bahwa ternyata masih banyak tumbuhan lokal di Gili Meno yang masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan untuk bahan obat-obatan tradisional. Dalam kegiatan memasak bersama warga yang telah dilakukan beberapa kali selama proses Aksara Tani, warga dan koki profesional yang terlibat tidak hanya fokus pada bagaimana mengolah bahan panganan menjadi makanan yang berbeda dengan penyajian yang menarik, tetapi juga membahas tentang manfaat pangan lokal serta bagaimana menghadapi perubahan budaya pangan akibat perkembangan pariwisata.
Cara lain yang dilakukan Aksara Tani dalam menggali informasi dan pengetahuan terkait budaya pertanian dan pangan warga Gili Meno adalah dengan merekam dan membuat video tentang aktivitas-aktivitas sederhana yang ditemukan di Gili Meno, seperti membuat kapal, menggaso (membuat atap dari daun kelapa), mengangsat, khitanan, perayaan Maulid Nabi, atau aktivitas warga di pelabuhan. Video tersebut ditampilkan selama pameran “Presentasi Publik Aksara Tani Gili Meno” (yang dikuratori oleh Ahmad Rosidi, pegiat seni dari Pasirputih) dan ditonton oleh warga bahkan pengunjung-pengunjung asing Gili Meno. Video yang mengangkat narasi-narasi kecil tersebut kiranya dapat membantu warga dalam memahami dan menyadari potensi yang ada di Gili Meno selain pariwisata.
Proses-proses yang telah dilakukan Aksara Tani selama 3,5 bulan ini tentu masih belum cukup untuk memberikan dampak yang besar kepada warga Gili Meno. Namun, harapan dari kami, pelaksana proyek, Aksara Tani mampu menjadi langkah awal dalam menghadirkan ruang pengetahuan yang kritis terhadap budaya lokal Gili Meno yang sangat erat kaitannya dengan negara agraris dan maritim, serta mampu mempersiapkan warga dengan berbagai informasi dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi seiring perkembangan pariwisata yang sedang terus digalakkan, demi menopang hidup warga Pemenang umumnya, dan Gili Meno khususnya. ***